10 Mei 2007

Ucok dan Riwayat Empat Truk Buku Adam Malik

Oleh Basilius Triharyanto

Ratusan koleksi buku langka milik pejabat seperti Adam Malik sampai Ali Sastroamidjoyo pernah dijual di kios buku langka TB Laras, milik Endi Simanjuntak alias Ucok. Dari aktivis, jurnalis, sastrawan, hingga pengusaha sering berburu buku di tokonya itu.

Awalnya Ucok bekerja sebagai agen surat kabar di Cengkareng. Pekerjaan ini ia geluti usai sekolahnya pupus pada semester 6. Kesulitan biaya kuliah memaksanya berhenti dari Universitas Kristen Indonesia. Ia lalu bertekun dalam penjualan buku-buku bekas dan langka. Kios pertama yang dirintisnya terletak di terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Kiosnya tergolong kecil sehingga sedikit koleksi buku yang tertampung. Banyak koleksinya tertumpuk di rumahnya. “Waktu itu teman-teman banyak yang datang ke rumah,” kata Ucok. Tak sedikit yang sering datang para jurnalis. “Eros Jarot saat masih di Tabloid Detik, atau wartawan-wartawan dari Amanah, Panji Masyarakat pernah datang ke rumahku,” kata Ucok.

Dari terminal Lebak Bulus ia pun mulai berpetualang dengan buku-buku langka atau buku lama. Ia sempat berpindah-pindah tempat untuk mendapatkan pembaca dan peminat buku. Perempatan lampu merah pondok Pinang adalah tempat kedua sebelum ia memindahkan koleksinya ke arah Kota. Di Mangga Dua ia buka kios baru, dan hanya bertahan sekitar 2 tahun. Lalu kembali ke daerah awal tak jauh dari kawasan terminal Lebak Bulus.Tepatnya di Jalan Ciputat Raya, sisi kiri trac light Pondok Pinang, Kebayoran Lama. Lebih 2 tahun ia terus bertahan dan berkembang di kios ukuran sekitar 4 kali 5 meter itu.

Nama TB Laras terpampang di papan nama. Di situlah mampir ratusan koleksi buku langka atau buku lama koleksi para tokoh penting di republik ini. Adam Malik, wakil presiden RI, adalah nama besar yang buku-bukunya mampir di rak-rak Ucok. Pada 2002 ia mendapatkan buku-buku koleksi Adam Malik dalam jumlah sangat besar. “Banyaknya 4 truk. Totalnya 30 ton. Satu museumnya dia ya,” kata Ucok.

Menurutnya jumlah itu yang terbesar selama bergelut dengan buku-buku langka. Kali pertama ia mendapat barang dalam jumlah besar pada tahun 1998. Toko buku Iswandi di Jalan Arteri, Jakarta Selatan menjual buku-bukunya kepada Ucok. Stok lama dari gudang toko buku yang telah tutup itu dijual dengan sistem borongan. “Ditimbang beratnya 1 ton 800 kilogram. Dan saya beli perkilonya 1000 rupiah,” kata Ucok. “Dari Pak Adam Malik waktu itu 5000 satu kilogramnya,” kata Ucok membandingkan borongan buku yang pernah ia dapatkan. Koleksi-koleksi buku lama datang dari pejabat tinggi lain, seperti Wahono, yang pernah menjabat ketua Dewan Petimbangan Agung (DPA RI).

Jenderal polisi Sujarwo, mantan sekretaris Menpen Sunarto, dan Ali Sastroamidjoyo juga pernah di lego ke Ucok. Tokoh-tokoh itu suka membaca buku dan punya koleksi buku yang tidak sedikit. Ketika yang empunya meninggal dunia, koleksi buku-bukunya tetap tersimpan di rak-rak kerja mereka. “Ternyata generasi penerusnya itu kebanyakan tak peduli dengan buku-buku orang tuanya. Buku-buku itu malah dianggap merekaa limbah,” komentar Ucok.

Ucok tidak menerima buku-buku itu langsung dari keluarganya. Ada perantara yang mengantarnya untuk bisa datang dan menilai buku-buku itu. Mata rantainya sederhana, tak rumit. Orang kepercayaan keluarga menghubungi dirinya atau teman-teman dari jaringan penjual buku langka. “Jarang dari keluarga langsung. Mereka kan malu,” katanya. Sekali pernah, isteri dari mantan rektor UI datang ke kiosnya menawarkan dua buku yang ditawarkan lima juta rupiah. Ucok menolaknya. “Buku itu sangat mahal jadi kita tidak bisa jual. Bisa juga sih dijual mahal, masalahnya buku itu bisa berharga bagi mereka yang punya kepentingan kan?”.

Pencinta buku yang usianya 35 tahun ini mengaku sebagai mata rantai ketiga. Buku-buku yang ia dapatkan dalam jumlah besar tidak dijualnya sendiri. “Ya, sebagian lemparkan ke teman. Kalau nggak mana habis begitu banyaknya. Ya, berbagilah, biar tetap ada hubungan.” Ia sadar betul memelihara jalinan relasi terhadap sesama pemain buku langka. Pekerjaannya tak selesai saat berhasil mendapatkan barang buruannya. Buku-buku lama ia bersihkan dulu, ia pilah- pilah dan baru menghubungi pelanggannya.

Untuk buku-buku yang bermutu ia pun merasa harus membaca terlebih dahulu sebelum dijual. “Buku itu bisa bernilai kalau kita sendiri tahu isinya,”kata Ucok. Barangkali ia sadar dengan para pelanggannya. Teten Masduki, Hawe Setiawan, Richard Oh, dan politikus Adam Wahaf pernah bertandang ke kiosnya. Ia mengaku sangat senang melayani para pembaca sejati. Benar- benar pecinta buku. Karena, bukan sekedar satu keuntungan yang di dapat tapi obrolan atau diskusi kecil bisa berlangsung di tokonya. Bila Anda ke tokonya kini , terlihat terpampang buku-buku Karl Marx, Lenin, terbitan aslinya tahun 1900-an. Buku tua Serat Babad Tanah Jawi yang harganya sekitar 500 ribu masih duduk di rak paling atas. Dari berjualan buku langka itu kini pun ia punya rumah sendiri. “Hasil dari kerja keras,” jawabnya.

(Diterbitkan atas kerjasama antara Indonesia Buku dan Bataviasse Nouvelles)

Hillary Clinton adalah srikandi politik yang sedang bersinar di Amerika Serikat. Dia banyak disorot dan juga dituliskan. Kiprah politik perempuan diulas dua buku: A Woman in Charge: The Life of Hillary Rodham Clinton (Carl Bernstein/Knopf, 628 pp.) dan Her Way: The Hopes and Ambitions of Hillary Rodham Clinton (Jeff Gerth and Don Van Natta Jr./Little, Brown, 438 pp.). Dua buku itu direview sekaligus oleh Michael Tomasky di The New York Review of Books>>


Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>


Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>