12 Mei 2007

Tim Penulis Seabad Pers Kebangsaan

Oleh Editor

Mereka bekerja dengan semangat anak muda zaman pergerakan. Hari ini mereka melihat, melakukan interview, lalu mencatat. Esoknya demikian juga. Kerja dibagi. Ada yang jadi pemberi kertas penugasan. Ada yang mengetuk satu pintu demi pintu tokoh-tokoh pers yang masih menghela napas. Ada yang menjadi "tamu2 khusus" Perpustakaan Nasional. Ada yg senantiasa menenteng kamera mencari sampul2 koran tua. Ada juga yg jadi editor dan duduk di belakang meja mengumpulkan hasil kerja lalu menyuntingnya; yang layak dipisah, yang 'katrok' masuk kotak. Tentu ada pencari frontpage2 koran2 terbaik dunia sebagai tampilan akhir semua hasil kerja. Pada akhirnya ada yang terus memasok gagasan sambil mencari secara mandiri persekot untuk memperlancar nadi semua rangkaian kerja. Kerja belum selesai. Masih dua per tiga jalan menuju Agustus. Dan inilah sosok mereka:

Zen Rachmat Sugito, editor seabad kebangkitan nasional, khususnya tokoh2 pergerakan. Termasuk di sini adalah seratus tokoh pers Indonesia.


Foto di samping (dari kiri ke kanan): Iswara, Narno, Agung DH, Hajar Nur, Rhoma Dwi, Reni Nur, dan Tunggul T. Mereka adalah sejarawan2 muda dari Jogja. Ada yang sudah lulus, ada yang masih berlabel mahasiswa. Mereka adalah para periset untuk koran2 tua.


Depan (duduk): Zen Rachmat Sugito, berdiri dari kiri ke kanan: Narno, Iswara, Tunggul, Rilla. Rilla Nug yang baru saja balik dari London khusus menulis biografi tokoh2 pers Indonesia.


Usman Iskandar alias The Legend of Paimo alias Paim Klimaks (tak puas uang kembali) adalah fotografer. Pernah di majalah Tempo dan Koran Tempo dan sekarang hilir mudik antara Veteran I Jakpus dan Kedoya (Media Indonesia). Wajah boleh seperti ustadz, tapi akhlak, o o o tak tegalah kami menyebutkannya...


Agung DH (yg merem) dan Pandu Lazuardy (buka mulut). Nama yg terakhir adalah rolling stoner dari banjarnagara. Desainer dan penggubah isi artikel biografi 365 koran klasik Indonesia ke dalam frontpage terbaik koran dan majalah kontemporer seluruh dunia.


Kiri ke kanan: Reni, Agung DH, Rhoma Dwi: Sedang berpose di perpustakaan Pramoedya Ananta Toer. Agung menghadap mesin tik yg biasa dipakai Pram. Kedatangan ke rumah Pram untuk mencari arsip Soenda Berita (1903-1904), Hindia Poetra (1919), dan Pantja Warna (19...).

Wajah lainnya akan disambung esok2 hari...


Hillary Clinton adalah srikandi politik yang sedang bersinar di Amerika Serikat. Dia banyak disorot dan juga dituliskan. Kiprah politik perempuan diulas dua buku: A Woman in Charge: The Life of Hillary Rodham Clinton (Carl Bernstein/Knopf, 628 pp.) dan Her Way: The Hopes and Ambitions of Hillary Rodham Clinton (Jeff Gerth and Don Van Natta Jr./Little, Brown, 438 pp.). Dua buku itu direview sekaligus oleh Michael Tomasky di The New York Review of Books>>


Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>


Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>