05 Mei 2007

Kejutan Buku Cina Bekas

Oleh si Tinta Merah

Datanglah ke lapak-lapak sepanjang Jalan Pintu kecil. Banyak buku-buku Cina bekas dilego murah. Dahulu turis asal Taiwan, Hongkong sering membeli di situ.


Seorang tua tampak asyik membolak-balik buku cerita silat Cina. Lembaran buku kusam dan warna kuning kecoklat-coklatan.Yang mengagetkan buku itu asli berbahasa Cina!

Pemandangan itu bisa Anda dapat bila mengunjungi lapak buku bekas yang berjajar di Jalan Pintu Kecil, Jakarta Kota. Ada beberapa lapak yang menjajakan koleksi buku langka berbahasa Mandarin atau Cina.

Di lapak itu, Pak Tan yang umurnya lebih 60 tahun menghabiskan hari-harinya dengan membaca buku-buku cerita silat itu. Lapak itu milik Imron. Sejak 1989 Imron bergelut dengan buku bekas dan langka di Jalan Pintu Kecil. Kali pertama buku-buku tua berbahasa Melayu, Inggris, Belanda, dan Jerman. Namun setelah sekitar empat tahun ia mendapatkan buku-buku tua berbahasa Mandarin. Seorang penjajak barang rongsokan dengan gerobaknya menawarkan buku-buku Cina dan ia pun menerima tanpa berpikir panjang. Tak banyak pertimbangan apalagi menyeleksi tema buku.

Maklum, ia tidak mengerti dengan aksara Cina. Tak menduga, ketika dipajang sejumlah orang Tionghoa yang sudah tua-tua mendatangi lapaknya dan membeli buku- buku itu.

Pak Tan di atas adalah salah satunya. Bahkan orang-orang Tionghoa yang tinggal di sekitar daerah Pancoran semakin sering datang ke lapaknya. Hingga ia hafal tema-tema buku berbahasa Cina, meski tetap buta dengan aksaranya.

“Di sini ada buku-buku sejarah Cina, pelajaran biologi, cerita silat, novel remaja, kamus,” kata Imron.

Buku-buku itu terbitan mulai tahun 1940-an sampai 1950- an. Ada yang diterbitkan orang Indonesia, tapi sebagian terbitan asli dari bangsa Tiongkok atau Republik Rakyat Cina.

Buku-buku itu dijual murah. Buku-buku sejarah Cina yang berusia lebih 60 tahun dijual seharga 10 ribu sampai 15 ribu rupiah. Novel-novel dan cerita silat harganya antara 3000 sampai 5000 rupiah. Bahkan ia juga menyewakan cerita-cerita silat. Penyewanya cukup memanjar uang 3000 rupiah yang bisa diambil lagi ketika buku dikembalikan. Untuk satu hari sewanya seribu rupiah. Edi pemilik lapak sebelah Imron juga menjual koleksi sama. Ia juga menyewakan dan menjual cerita-cerita silat. Edi lebih banyak menjajakan cerita-cerita silat Cina selain komik-komik Jepang. Cerita-cerita silatnya lebih banyak disewa daripada dibeli. Setiap hari ada yang menyewa meski yang datang bisa dihitung dengan jari satu tangan.

Pada tahun 1990-an buku langka bahasa Cina banyak diminati. Baik Imron maupun Edi sering dikunjungi pembeli dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan ada yang dari luar negeri. “Orang Taiwan, Hongkong, dulu sering cari buku ke sini,” kata Edi sambil melayani pembelinya. Pak Imron sering menerima orang-orang Bekasi, Tangerang, dan luar Jakarta untuk membeli buku-buku lama, terutama cerita-cerita silat dan novel-novel Tionghoa.

“Tahun 1990-an jualan buku Cina lumayan hasilnya,” kata Imron. “Satu minggu bisa 10 lebih buku tionghoa yang laku. Kalau dulu tak kwatir jualan buku Cina. Sekarang ya sepi karena sudah banyak toko-toko buku yang baru, ” kata Edi.

Pada zaman orde baru berkuasa dan buku-buku bahasa Cina dilarang, Imron dan Edi mengaku lebih banyak yang laku dan dicari. Sejak krisis ekonomi tahun 1997 dan kejatuhan rezim Soeharto buku-buku Cina justru tidak banyak diminati lagi. Kedua pemilik lapak itu pun menjadikannya sebagai barang dagangan sampingan.

“Semenjak krisis dan terjadi kerusuhan (Mei 1998) omzetnya anjlok. Tidak ada orang Hongkong, Taiwan datang kesini,” kata Edi dengan nada rendah. “Kalau tidak laku saya obral saja,” kata Imron bernasib sama.

Sebelum krisis ekonomi melanda negeri ini keduanya bisa menjual buku Cina antara 50 sampai 100 dalam satu bulan. Meski jarang peminatnya, mereka tetap sabar dan memelihara buku-buku itu. Imron, misalnya, hingga 5 bulan tak laku masih tetap meletakkan buku-buku tua itu di lapaknya. Baru kalau tidak ada pembelinya sama sekali buku itu

akan diobralnya. Edi pun tetap tak ingin meninggalkan usahanya menjual buku-buku tua berbahasa Cina. Meski penghasilannya kecil ia tetap menjalankan lapaknya dengan buku-buku tua itu. Ia tetap melayani para penggemar cerita silat yang usianya di atas 60 tahun, seperti Pak Tan tadi.

(Diterbitkan atas kerjasama antara Indonesia Buku-I:BOEKOE dan Bataviasse Nouvelles Courant)

Hillary Clinton adalah srikandi politik yang sedang bersinar di Amerika Serikat. Dia banyak disorot dan juga dituliskan. Kiprah politik perempuan diulas dua buku: A Woman in Charge: The Life of Hillary Rodham Clinton (Carl Bernstein/Knopf, 628 pp.) dan Her Way: The Hopes and Ambitions of Hillary Rodham Clinton (Jeff Gerth and Don Van Natta Jr./Little, Brown, 438 pp.). Dua buku itu direview sekaligus oleh Michael Tomasky di The New York Review of Books>>


Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>


Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>