03 Mei 2007

Anhar Gonggong: “Faktanya, Pemerintah Lebih Mendengarkan Taufiq Ismail Ketimbang Sejarawan”

Oleh Fadila Fikriani Armadita, Rhoma Aria Dwi Yuliantri

I: Kontroversi peristiwa sejarah untuk SMA itu apa saja?
AG: Ada beberapa, sepanjang yang saya ingat waktu saya pernah mengumpulkan 75 guru SMP-SMA seluruh Jakarta-Bogor. Tiga tahun berturut-turut dengan guru yang berbeda dengan harapan saya bisa mendapat informasi apa kesulitan mereka di dalam mengajarkan sejarah. Dikarenakan hal-hal yang dianggap oleh pemerintah tidak boleh diberikan. Pertama Pancasila. Pancasila tidak boleh dikatakan bahwa lahirnya Pancasila 1 Juni. Bahwa lahirnya Pancasila adalah ketika Jamin yang katanya berpidato pada tgl 29 Mei yang sudah membuat rumusan yang sama dengan Pancasila atau tanggal 18 Agustus. Guru sangat sulit mengajarkan itu. Karena itu memang tujuannya desoekarnoisasi. Karena kalau tanggal 1 Juni itu berarti identik Soekarno. Ada dosa besar dari pemerintah Orde Baru dalam kaitan dengan itu. Dalam arti kata bahwa melakukan deSoekarnoisasi. Bahwa bukan Bung Karno yang merumuskan Pancasila pertama kali itu faktual salah sebagai perumus awal, tetapi sebagai hari lahir Pancasila sebagai dasar negara ya memang tidak, sebab 1 Juni atau 22 Juni belum ada negara. Kita merdeka tanggal 17 Agustus. Pancasila dirumuskan Bung Karno untuk digunakan sebagai dasar negara kalau kelak kita merdeka. Jadi istilah Pak Notonegoro itu tanggal 1 Juni dan 22 Juni itu adalah hari dari lahirnya atau dirumuskannya calon-calon dasar negara yang nantinya setelah dirumuskan akan dimasukkan dalam alinea keempat pembukaan UUD 45 yang ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus. Tapi jangan salah sebenarnya istilah Pancasila hanya sekali digunakan oleh Bung Karno tanggal 1 Juni. Dan selanjutnya rumusan Pancasila yang kita kembangkan—kalau benar yang kita terima adalah pembukaan UUD tanggal 18 Agustus di alinea keempat—itu tak ada istilah Pancasila. Silakan cari, istilah pancasila tidak ada.

I: Jamin punya istilah apa?
AG: Tidak ada, hanya merumuskan dasar saja. Kalau Soekarno jelas ada istilah Pancasila. Dulu dia usulkan pertama Pancasila, kalau tidak senang bisa diperas menjadi tri sila, kalau tidak senang bisa dirubah menjadi ekasila. Itu yang saya maksud dosa besar pemerintah Orde Baru tatkala mengatakan bahwa bukan Bung Karno yang merumuskan dan memberi nama rumusannya dengan Pancasila. Kata Pancasila itu adalah monopoli Bung Karno. Dalam arti kata, dialah orang pertama yang merumuskannya. Hanya saja oleh karena kompromi politik, maka begitu selesai bicara tanggal 1 Juni kekuatan BPUPKI terbelah menjadi kekuatan nasionalis mendukung Pancasila, kekuatan Islam yang mendukung Islam sebagai dasar negara. Setelah rumusan 22 Juni, 18 Agustus adalah proses kompromi sebenarnya. Tetapi dalam kaitan Pancasila dengan Bung Karno tidak bisa dihilangkan dalam situasi apa pun. Dia yang merumuskan pada 1 Juni, dia ketua panitia panitia sembilan yg merumuskan Piagam Jakarta. Ketika 18 Agustus saat disahkan sebagai pembukaan UUD 1945 dia juga ketua PPKI. Tiga proses perumusan Pancasila dari awal-akhir Bung Karno selalu ada. Di sini ini dosa besar Nugroho Notosusanto dan Soeharto.

I: Lalu di mana sebetulnya letak kesulitan guru. Karena buku ajar atau ada kesulitan lain?
AG: Antara lain buku ajar. Buku yang diajarkan menyebutkan bukan 1 Juni tetapi 18 Agustus, dengan mengacu pada bukunya Jamin. Selain itu ketakutan menerangkan karena dia merasa dirinya diawasi. Kondisi ketika itu kepala sekolah punya kekuatan otoriter. Bisa-bisa dia dituduh PKI atau kehilangan pekerjaannya.

I: Kenapa mesti Jamin yang dirujuk?
AG: Buku Jamin memang unik, itu berasal dari dokumen-dokumen sidang BPUPKI. Ada 3000 halaman tebalnya. Lalu dokumen itu dipinjam oleh Jamin dari Pringgodigdo yang saat itu sebagai sekretaris dari BPUPKI. Dia pinjam tetapi tidak pernah dikembalikan. Buku itu yang diolah jadi buku kontroversial. Kontroversinya adalah ada pengantar Soekarno yang membenarkan isi buku itu. Ini yang susah.

I: Kontroversi pertama tadi Pancasila, yang lainnya apa?
AG: Lainnya Serangan Oemoem 1 Maret. Guru juga susah, dia mau mengatakan Sultan tidak terlibat. Dalam buku yang diberikan disebutkan Soeharto. Memang tujuannya agar Soeharto diterima dan dia pantas jadi presiden. Sebenarnya sederhana yang menjadi persoalan, siapa yang mengambil inisiatif. Ada jenjang kepemimpinan dalam militer. Sultan punya 2 posisi; tidak hanya sebagai Raja Jogja tetapi juga Menteri Pertahanan. Di bawah Sultan ada Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar. Di bawah Sudirman ada Nasution sebagai Panglima Komando Jawa. Nah, Soeharto ketika itu hanya sebagai Komandan Brigade Mataram; pangkatnya Letnan Kolonel. Selain Sultan, Soedirman, Nasution, ada lagi Bambang Sugeng sebagai Gurbenur Militer. Itu Bambang Sugeng yang membuat kertas instruksi rahasia yang di dalamnya menginstruksikan kepada Soeharto supaya menyiapkan serangan besar-besaran dan bukan istilahnya serangan umum ke ibukota Jogja. Jadi itu dirubah, tidak otentik istilah serangan umum. Jadi ada 4 orang di atas Soeharto. Kalau dilihat dari situ nggak mungkin dia mengambil inisiatif. Tetapi sebagai pengatur serangan, dia yang berperanan penting. Ada bukti betapa Soeharto sangat dihargai tinggi oleh Kolonel Van Langen, Komandan Tentara Belanda Jawa. Ketika sudah berdamai dia datang ke Jogya dan bertemu dengan Soeharto dan dia mengatakan, ”Oh..ini yang namanya Soeharto.” Mengapa Serangan 1 Maret sangat dikagumi oleh Belanda itu sendiri? Karena dilakukan pada siang hari. Tidak pernah terbayang oleh Belanda dia akan mendapat serangan pada siang hari karena menurut taktik militer itu sangat berbahaya. Itulah kekaguman Kolonel Van Langen pada Soeharto. Artinya dia bukanlah orang yang tidak mempunyai peranan penting. Cuma kalau dikatakan dirinya yang berinisiatif itu perlu dipertanyakan mengingat 4 komandan di atasnya dengan posisinya cuma Letnan Kolonel, Komandan Brigade di Yogyakarta.

I: Guru tidak mampu mengajarkan hal itu karena tak tahu atau karena takut?
AG: Dua-duanya terjadi. Berdasar pertemuan dengan guru-guru, mereka mengaku pengetahuan mereka minim karena memang membacanya kurang. Buku yang dia pegang cuma buku standar dan buku paket.

I: Selain Pancasila dan Serangan Oemoem ada lagi peristiwa kontroversial?
AG: G 30 S. Itukan sangat banyak hal-hal yang berkaitan dengannya. Orang dipaksa untuk mengatakan itu PKI, padahal pada kenyataannya ketika gerakan itu dicetuskan tidak ada PKI-nya. Hanya setelah Soeharto menang barulah disebutkan otaknya PKI. Ditambahlah istilah itu menjadi G30 S/PKI. Berkaitan dengan itu yang sangat kontroversial adalah Supersemar. Pertanyaan yang sering diajukan ada dua, apa benar surat perintah ada; kalau ada isinya apa. Kemudian apa surat itu bisa untuk menjatuhkan Soekarno. Kalau keberadaannya saya yakin itu ada. Saya cek kepada beberapa orang ada. Di pidato Bung Karno juga ada. Hanya saja Bung Karno marah jadi tidak digunakan semestinya.

I: Bagaimana bisa banyak orang menyalahartikan Supersemar itu?
AG: Itulah soalnya. Jadi Soekarno sendiri mengakui itu memang ada. Saya pernah tanya beberapa orang mengakui memang ada. Tapi yang jadi persoalan kalau kita baca isinya itu kan unuk mengamankan Soekarno. Tapi justru digunakan untuk menjatuhkan Soekarno. Namun itu bukan sesuatu yang salah dalam dunia politik. Orang bisa melakukan apa saja untuk meraih kekuasaan. Itu yang menjadi kesulitan bagi guru apa benar isinya seperti itu. Buku resmi yang digunakan mengatakan itu ada, dan isinya mengatakan bisa digunakn untuk menajtuhkan Soekarno karena memang Soekarno sudah menyeleweng dari Pancasila dan UUD 1945.

I: Pak Anhar sendiri memandang peristiwa G 30 S itu?
AG: Kalau saya memandangnya biasa saja. Gampang menerangkannya secara faktual-historis tanpa ada muatan politik. Katakan saja ketika untuk mengumumkan gerakan itu pada tanggal 1 Oktober kan kata PKI tidak ada.

I:Kalau peristiwa pasca PKI?
AG: Kalau pasca PKI, kata PKI itu dicantumkan berdasar atas penemuan2 dari mereka yang menang. Saat itulah baru dikatakan gerakan ini harus dberitahu kepada masyarakat bahwa yang melakukan adalah PKI. Jadi perlu ditambahkan kata PKI di belakang G30s. Penambahan kata PKI dilakukan oleh Orde Baru di bawah pimpinan Suharto-Nasution ketika itu.

I: Keterlibatan PKI sendiri seperti apa?
AG: Nah itu yang susah, kalau menurut Soeharto PKI terlibat, kalau Anda tanya orang PKI mereka bilang tidak terlibat. Ada sekian banyak versi ada yang mengatakan bahwa ini adalah pertentangan lingkungan Angkatan Darat. Ada yang mengatakan ini CIA, China, Unisoviet, PKI, bahkan terakhir ada yang bilang Soeharto terlibat. Paling tidak ada semnbilan versi tentang siapa sih dalang dari Gerakan 30. Mana yang benar?

I: Kalau Bapak sendiri cenderung siapa yang terlibat?
AG: Saya lebih cenderung PKI terlibat kalau melihat proses pada tahun 1960-1964. Di sini PKI bersama Soekarno bermain dan memperoleh posisinya yang kuat. PKI melakukan berbagai kegiatan dengan menggunakan jargon mendukung pemeritah besar revolusi tanpa reserve; dia berusaha menggunakan Nasakom untuk meraih kekuasaan yang lebih kuat di pemerintahan. Terkait dengan pemberontakan itu tidak berarti orang seperti Jamin, Nasution, Soekarno, tidak tahu. Mungkin yang bikin mereka kaget dilakukannya pembunuhan pada 6 Jenderal dan 1 Perwira. Mereka tidak menduga. Banyak perwira tahu, ini menurut saya lho.... masak seorang Panglima Angkatan Darat, Menko Keamanan, tidak dapat laporan dari intelejen. Menurut analisis mereka cuma sebuah kudeta atau penyerangan pada batas tertentu tidak ada pembunuhan sekejam itu.

I: Terkait dengan peristiwa pembantaian pascaPKI itu bagaimana Pak?
AG: Memang ada di Yogya biangnya, faktual itu. Ada banyak buku tentang itu dan itu memang fakual. Jadi tidak bisa disangkal jumlahnya. Yang jadi persoalan kan jumlahnya. Ada yang bilang 500.000; ada yang bilang 2 juta. Saya tidak mau menyebut jumlah, tapi saya yakin itu pasti terjadi. Sederhana saja. Sebenarnya cuma karena dendam di mana saat PKI dan Soekarno berkuasa banyak juga pembunuhan. Di Jawa Timur berapa banyak ulama dibunuh. Coba lihat bukuya Sulastomo, tentang G30 S, dia ketua HMI yang ketika itu dikejar-kejar PKI untuk membubarkan HMI.

I: Apa perlu Pak tentang pembantaian terhadap PKI dimasukkan ke kurikulum Pendidikan Sejarah?
AG: Karena itu memang disembunyikan. Supaya tidak terlalu kejam, dalam buku pelajaran saya kira tidak perlu dimasukkan angka. Cuma faktual terjadi pembunuhan. Dulu di tahun 1966 banyak orang diculik kemudian dibawa ke Sungai Progo misalnya kemudian di tembak, diparang. Paling banyak di Jawa Timur-Jawa Tengah.

I: Kini Buku Ajar 2004 sudah menghapus kata “PKI”, kemudian sekarang dimasukkan lagi oleh Mendiknas. Bagaimana bisa?
AG: Itu kan sebuah proses yang dilakukan orang-orang yang merasa memang PKI terlibat. Misalnya UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu dibatalkan karena d nilai menguntungkan PKI. Tentu saja orang-orang yang terlibat menumpas PKI tidak setuju kata PKI dihilangkan. Oleh karena selalu saya bilang bahwa tidak perlu menghilangkan itu, paling tidak pada keterangan awal dicantumkan peristiwa ini tidak menggunakan istilah PKI. Namanya yang asli adalah gerakan G30S yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Nah baru diterangkan pada prosesnya kemudian oleh karena Untung salah, dan menurut Soeharto dan Orde Baru setelah melihat berbagai kegiatan dan orang-orang di dalamnya, maka mereka yakin yang melakukan pemberontakan itu adalah PKI. Dengan bukti-bukti itulah maka gerakan ini ditambahi dengan PKI.

I: Apa tidak ada politisasi pendidikan dengan pencantuman G 30 S?
AG: Selalu saja yang namanya pendidikan terkait dengan politik karena semua apa yang dijalankan tetap kebijakan politik. Menteri itu politik dan kebijakan yang dilakukan adalah kebijakan politik. Andai PKI menang tentu saja buku ajarnya berbau PKI. Itu kebijakan politik dan tidak ada yang salah; yang salah adalah ketika orang mengajarkan buku-buku yang resmi lalu orang lain tidak boleh menggunakan buku-buku lain sebagai pembanding. Sewaktu saya jadi guru dulu saya menerangkan sendiri: buku paket ya silakan saja baca, saya menerangkan dengan referensi lain. Oleh karena itu begitu Soeharto jatuh, guru-guru sejarah dianggap pembohong.

I: Pencantuman istilah PKI pada kata G30 S untuk posisi buku pelajaran, apa tidak menimbulkan persepsi tertentu?
AG: Tentu saja apa pun kalau kita membaca sebuah buku, begitu orang baca pasti orang kaget. Suatu judul buku kalau begitu kita baca maka dalam benak kita ada sesuatu sama dengan itu kalau dicantumkan maka bisa melahirkan macam-macam interpretasi.

I: Sebetulnya bagaimana perdebatan tentang penghapusan kata “PKI” dari Buku Ajar Sejarah dan mencantumkan kembali kata “PKI”?
AG: Itu dilakukan oleh salah satu pimpinan pesantren di Jatim yang juga pamannya Gus Dur. Kemudian Taufiq Ismail datang ke DPR untuk menolak penghilangan kata “PKI”. Setelah proses itu maka dipakai lagi kata “PKI” begitu mereka datang ke DPR dan berdialog. Menteri Pendidikan mengatakan kalau kata “PKI” kembali digunakan.

I: Apa pihak Depdiknas melakukan penghilangan begitu saja tanpa dialog terlebih dahulu dengan para sejarawan?
AG: Ya, langsung saja dia mengambil kebijakan sendiri. Saya sendiri merasa tidak pernah diajak berdialog.

I: Kemudian respons sejarawan sendiri seperti apa?
AG: Ya saya diwawancara dan jawab saya seperti ini.

I: Ini penurunan dalam pendidikan sejarah atau bukannya ini sebuah kemunduran?
AG: Sebenarnya tidak perlu dikatakan sebagai kemunduran, tetapi pemerintah telah menutup jalan untuk mendapatkan kebenaran-kebenaran historis yang bisa didialogkan. Tidak perlu takut asal diterangkan dengan baik. Kata G30S PKI paling tidak digunakan selama kekuasaan Orde Baru.

I: Sebenarnya Diknas itu mendengarkan sejarawan atau Taufiq Ismail?
AG: Ya Faktanya mereka lebih mendengarkan Taufiq Ismail. Minimal saya sebagai sejarawan gak pernah diajak.


I: Sebuah penelitian di Jogja mengatakan bahwa 84 % guru-guru sejarah mengaku kebingungan dengan perubahan-perubahan itu?
AG: Saya mengerti kebingungan mereka karena sejak Orde Baru guru sejarah tidak pernah berhenti bingung dan takut. Sekarang saja mereka masih takut dan khawatir, karena di depan kelas mereka pakai buku apa kalau bukan buku resmi. Oh iya, ada kontroversi lain yang lebih jauh. Pernah mendengar Aru Palaka? Nah yang namanya Aru Palaka itu disebut pengkhianat karena melawan Hasanuddin dan berkawan dengan Belanda sehingga dia dikatakan pengkhianat. Persoalannya Aru Palaka membela diri karena sebagai kerjaaan Bone yang dijajah oleh kerajaan Gowa. Aru Palaka sebagai bangswan Bone diambil ke Gowa untuk dipelihara, kemudian dia melepaskan diri dan bekerjasama dengan Belanda dan dia dianggap pengkhianat. Jadi setiap orang yang membantu Belanda adalah pengkhianat, dan yang melawan adalah pahlawan. Kepada murid-murid saya, tidak pernah saya katakan kalau Aru Palaka adalah pengkhianat. Dia waktu itu cuma membela diri. Lagi pula Indonesia belum ada kok. Saya pernah katakan: yang saya soalkan bukan lamanya dijajah, bahkan saya mengatakan apa iya Indonesia dijajah? Yang dijajah itu kerajaan-kerajaan. Indonesia itu ada tahun 1920-an; dalam proses itu nama negeri kita ada 3, pertama yang diistilahkan Gadjah Mada dengana Nusantara, Nedertland Indhie. Dalam proses kita di jajah maka di situlah pada tahun 20-an dicari nama lain. Didapatlah nama Indonesia. Kenapa digunakan itu? Ada kalau dibaca dalam kumpulan karangan Hatta. Pada tahun 1933 Hatta diundang Fakultas Indologi Universitas Leiden untuk bercerita mengapa menggunakan kata Indonesia.

I: Dalam penelitian yang sama dibeberkan bahwa pada siswa SMA kelas III IPA materi Gestapu tidak diberikan. Tetapi pada kelas III IPS itu diberikan. Menurut bapak bagaimana?
AG: Itu menarik. Berarti pemerintah tidak punya kebijakan yang satu. Kebijakan pemerintah ambivalensi.

I: Ini pertanyaan terakhir, apa Bapak punya pengalaman menarik terkait keikutsertaan Bapak dalam sidang pengangkatan seseorang jadi pahlawan?
AG: Ya, pengangkatan itu ada kriterianya, ada panitianya. Misalnya dia dicalonkan di Yogya dan mengajukan surat ke Dinas Sosial yang ada di Yogya; karena di setiap daerah ada Badan Pembina Pahlawan Daerah, di bawah Dinas Sosial. Kalau ada orang mau mencalonkan pahlawan ada keterangan dari Dinas Sosial apa orang ini pantas atau tidak; kemudian dikirim ke Depatermen Sosial Jakarta, terus kemudian di seleksi lagi oleh Badan Pembina Pahlawan Pusat.

I: Punya pengalaman menarik?
AG: Tentang Trunojoyo. Waktu kita pembicaraan pertama kita sepakat dia dicalonkan, tahap penentuannya ada dua, hasil dari kita memberikan rekomendasi kepada Presiden Megawati. Kita sudah bulat mengangkat Trunojoyo. Namun tiba-tiba datang surat dari Presiden beserta dokumennya: “Tolong diteliti kembali.” Ini di luar kebiasaan. Ya, kami telitilah... ada seorang veteran mempunyai bukti betapa penderitaan Trunojoyo dibunuh, ditikam. Nah ada lagu-lagu rakyat yang menganggap Trunojoyo pahlawan. Sebelum itu dikirim lagi ada seorang wakil dari Arsip Nasional yang menemukan dokumen berbahasa Belanda yang mengatakan bahwa Trunojoyo tidak pantas diangkat jadi pahlawan nasional. Soalnya dia pernah menulis surat kepada Gurbenur Jenderal meminta bantuan senjata segala macam. Akhirnya Turnojoyo tidak jadi sampai sekarang.

(Disunting kembali Muhidin M Dahlan)

Hillary Clinton adalah srikandi politik yang sedang bersinar di Amerika Serikat. Dia banyak disorot dan juga dituliskan. Kiprah politik perempuan diulas dua buku: A Woman in Charge: The Life of Hillary Rodham Clinton (Carl Bernstein/Knopf, 628 pp.) dan Her Way: The Hopes and Ambitions of Hillary Rodham Clinton (Jeff Gerth and Don Van Natta Jr./Little, Brown, 438 pp.). Dua buku itu direview sekaligus oleh Michael Tomasky di The New York Review of Books>>


Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>


Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>