03 Mei 2007

Empat Pasal dalam Menulis Biografi

Oleh M Nursam

Penulisan biografi berbeda dengan penulisan sejarah. Jika sejarah mengurus masyarakat sebagai sebuah bangunan kolektivitas, maka biografi memfokuskan pada manusia sebagai individu. Sejarah berangkat dari masyarakat, sementara biografi berangkat dari individu. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa sejarah adalah kumpulan dari biografi. Jadi begitulah. Itu soal definisi keilmuan saja.

Saya terus terang terpengaruh dengan buku-buku Kuntowijoyo. Menurut saya biografi yang baik itu adalah biografi yang mampu mendekatkan pembaca dengan tokoh yang dibacanya. Artinya tugas penulis adalah yang membuat keduanya tak berjarak. Bahwa yang ditulis adalah manusia yang punya kekurangan dan kelebihan. Mereka bukan dewa dan malaikat.

Ada 4 pasal yang ada dalam biografi. Pertama, kepribadian seorang tokoh. Kedua, latar sosial atau latar kultural di mana sang tokoh hidup. Ketiga, sensibilitas. Yang dimaksud dengan sensibilitas adalah kekuatan emosional pada sebuah kurun sejarah. Misalnya ketika kita menulis sosok mahasiswa ’98 maka sensibilitasnya adalah reformasi; kalau kita menulis tokoh-tokoh pergerakan nasional, sensibilitasnya adalah nasionalisme dan kolonialisme.

Dan pasal keempat adalah—pinjam istilah Pak Sjafi’i Maarif—titik-titik kisar. Poin-poin di mana seseorang itu berubah. Kalau untuk Soedjatmoko dia berubah sewaktu dikeluarkan dari sekolah oleh pemerintah pendudukan Jepang. Dari situ dia mengurung diri selama 6 bulan dan membaca semua buku perpustakaan ayahnya di Solo. Dia ke Klewer yang di sana buku-bukunya kebanyakan berbahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman. Itulah titik kisar dalam hidup Soedjatmoko. Titik kisar itu penting ditemukan untuk jadi penanda kenapa orang bisa berubah. Lain lagi dengan titik kisar Pak Sjafi’i Maarif. Titik kisarnya adalah tatkala dia belajar di Chicago. Kalau sebelumnya dia pendukung berdirinya Negara Islam, ketika di Chicago dia berubah menjadi pendukung Pancasila.

Nah, titik kisar itu terjadi oleh banyak faktor, seperti jenis dan kualitas bacaan, perjalanan, dan perjumpaan dengan banyak orang.


SETIAP orang pasti memiliki seorang tokoh yang cukup menginspirasi hidupnya. Meski tak mengenal secara langsung. Hanya mengenal nama, membaca karyanya, penemuannya, gebrakan baru yang dilakukannya, atau apa sajalah yang jelas membuat kita cukup mengidolakan tokoh tersebut. Apa sebab kita tak pernah mengenalnya secara langsung? Bukan cuma karena jarak, tetapi bisa juga karena tokoh yang kita idolakan hidup berpuluh tahun lampau sebelum kita ada.

Dia tak minta kita idolakan, dia tak juga minta kita banggakan, tapi ada sesuatu hal yang dilakukannya sampai-sampai kita menjadikannya inspirasi dalam hidup kita. Apa yang kita lakukan untuk menelusuri jejak tokoh idola kita tersebut? Yah… kita pasti mengetahui latar belakang kehidupannya; siapa dia sebenarnya melalui karya-karyanya, atau jika ada biografi tentangnya sudah pasti kita tahu siapa tokoh idola kita sebenarnya. Dengan demikian, kita bisa lebih dekat dengan tokoh idola kita. Dari biografi itulah kita bisa menilai seperti apa tokoh idola kita itu. Karena biografi bukan sekadar cerita tentang karya si tokoh, tetapi ia juga bercerita ihwal kehidupan pribadi si tokoh, latar belakang sosiologis termasuk juga riwayat pendidikan, sampai pada titik-titik kisar kehidupannya.

Tentunya ada alasan tertentu mengapa seorang tokoh ditulis biografinya dan tak sembarang tokoh mestinya. Dokter Saleh contohnya. Dia adalah bapak dari Miriam Budiharjo, Soedjatmoko.... Sengaja biografi tentangnya saya tulis karena beliau memang dinilai sebagai sosok manusia Jawa. Dia seorang dokter yang mengajarkan pada anak-anaknya bahwa semua agama pada hakekatnya mengajarkan kebaikan. Kepada anak-anaknya dia ajarkan toleransi. Salah satu upaya yang dilakukannya untuk mengajarkan makna toleransi adalah dengan memasukkan mereka ke sekolah Yayasan Kristen; hanya karena ia ingin mengajarkan toleransi.

Tetapi, dalam proses penulisannya, sang anak, Profesor Miriam Budiharjo, menolak keras adanya penggunaan kata Kristen dalam biografi Dokter Saleh itu. Karena itulah yang membuat penerbitan biografi Dokter Saleh tertunda. Bagi saya, jika satu kata itu dihilangkan dari tulisan saya, maka rubuhlah seluruh konstruksi pikiran yang saya bangun sejak awal yang menunjukkan potret manusia Jawa pada diri Dokter Saleh. Nyaris buku tersebut gagal diterbitkan.

Namun apa iya biografi hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah mangkat? Tentu saja tidak. Biografi pun bisa ditujukan kepada mereka yang masih hidup. Justru dengan mereka yang masih hidup penulis biografi bisa berkorespondensi secara langsung dengan si tokoh. Tanpa menafikan anggota keluarga, orang-orang dekat, pengamat, atau bahkan kita bisa berkutat dengan karya-karyanya. Kurang lengkap sepertinya jika sebuah biografi itu tak detail; terlebih lagi hal-hal yang cukup penting terkait dengan pribadi sang tokoh. Kekhawatiran ada fragmen yang tercecer dari kehidupannya. Menulis biografi memang tak boleh dibatasi dengan jumlah halaman.

Tak cuma persoalan pribadi yang diulas dalam sebuah biografi; terkadang biografi hanya berbicara tentang satu titik saja. Biografi Soejatmoko yang saya tulis misalnya. Dalam biografi tersebut saya hanya membahas satu persoalan saja; yakni persoalan pemikiran atau sejarah intelektualnya saja. Jika pada tokoh lain misalnya biografi bisa bercerita tentang keahlian atau jalan yang dipilih oleh si tokoh. Misalnya si tokoh adalah seorang politikus; kita bisa menuliskan tentang karir politiknya. Tentu saja kita tak dapat melepaskan begitu saja latar belakang kehidupan si tokoh. Meski hanya berfungsi sebagai ‘penggembira’ saja.

Namun tak semua kalangan mampu menerima kejelekan tokohnya. Di Inggris misalnya, Pasca matinya Putri Diana, isteri dari Pangeran Charles, seorang wartawan menuliskan kehidupan Diana termasuk perselingkuhannya. Setelah jadi, rakyat Inggris menolak kehadiran buku itu. Kenapa? Karena dalam buku tersebut diceritakan sisi negatif Diana.

Kedewasaan kita sebagai pembaca dituntut, apakah kita siap menerima kenyataan bahwa tokoh yang kita banggakan ternyata melenceng jauh dari yang kita bayangkan. Bisa-bisa kita kecewa dan kekecewaan tersebut kita luapkan dengan mengecam keras penulis tokoh tersebut. Inggris saja demikian, apalagi di Indonesia?

Makanya saya belum berani menurunkan sisi negatif Soedjatmoko. Terutama sekali pergaulannya. Nanti banyak orang marah. Yang justru saya kritik dari Soedjatmoko sebagai intelektual adalah suaranya bungkam sebungkam-bungkamnya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana orang-orang PKI dibantai. Bagaimana bisa seorang intelektual tidak terketuk oleh peristiwa mengerikan itu?


BANYAK orang mengatakan penulisan biografi kebanyakan kering. Nyaris tak ada imajinasi. Tapi coba baca Tetralogi Pramoedya. Di sana kita bisa melihat sosok Tirto Adhi Soerjo yang juga digambarkan oleh Pram dalam Sang Pemula. Pembaca akan lebih senang membaca sebuah biografi yang dicampur dengan imajinasi sebab mereka tak akan bosan membaca. Karena emosi sang tokoh tergambar jelas di sana. Paling tidak gaya penulisan yang disampaikan dengan sastra. Sederhana saja alasannya agar tidak kering. Tentu tujuannya bukan untuk melebih-lebihkan. Sebab penulisan biografi bukan untuk melebih-lebihkan, tetapi apa adanya.

Kadang kala yang dialami dalam penulisan biografi adalah susahnya menemukan keyword atau kisar kunci. Jika kisar itu sudah didapat maka akan dengan mudahlah kita bercerita tentang si tokoh. Tentunya itu bisa didapat dari pencarian melalui teks tertulis. Dari penjelajahan itu kisar kunci itu akan muncul dengan sendirinya. Bahkan yang belum kita ketahui sebelumnya bisa jadi itu adalah kata kunci yang paling pokok.

Titik-titik kisar atau alur kehidupan seorang tokoh menjadi sesuatu yang maha penting dalam penulisan biografi meski tidak sama dengan novel. Menulis biografi juga harus ada endingnya. Tapi bukan kita yang menentukan melainkan lebih pada sumber yang kita dapat. Inggid contohnya. Kenapa dia mau menikah dengan Soekarno, padahal sebelumnya dia sudah menikah dengan Sanusi. Nah di sinilah titik kisar dari Inggid. Dia melihat aura dari Sukarno dan Inggid melihat Sukarno akan menjadi sosok yang menentukan masa depan Indonesia.

Termasuk pula orang-orang di sekitar si tokoh. Misalnya penulisan terhadap tokoh politik. Bukan hanya tokoh dari sekitarnya atau yang ada di pihak si tokoh; kita juga bisa mewawancarai lawan politik dari si tokoh. Mengapa demikian? Yah... penelitian kita haruslah proporsional. Kecuali kalau memang biografi pesanan.

Menulis biografi adalah menulis dengan kata hati; itu kalau kita menginginkan sebuah biografi yang proporsional. Bisa jadi sumber itu kita batalkan karena sumber itu lemah. Kunci dalam penulisan biografi adalah data. Ketika Ibu Miriam meminta saya untuk menghapus kata Kristen, saya tanya apa dasarnya? Beliau tidak bisa menjawab lantaran tak punya data kuat. Data harus digugurkan dengan data; bukan dengan senjata atau dengan kekerasan. Sepanjang kita punya integritas intelektual, wawancara lengkap, data siap, jadi sewaktu-waktu dikomplain kita siap untuk menjawabnya.

Hal yang paling sulit dalam penulisan biografi adalah narasumber. Pun dalam penulisan biografi kita memerlukan fakta keras, dan itu mutlak ada dalam sebuah penulisan biografi ataupun sejarah. Kualitas sebuah biografi akan bergantung di sana; masalah apa yang diungkapkan masih kontroversial itu tergantung pada sumber yang kita pakai. Penulis biografi berhasil manakala pada sebuah peristiwa yang kontroversial dia bisa mengemukakan kedua buah sumber. Jadi ungkapkan saja semuanya, kalau ada yang berlawanan ungkapan saja.

Sulit memang menulis sebuah biografi. Namun penulis bisa merasakan orgasme intelektual. Kepuasan itu ada ketika kita sudah menemukan tesis dari tulisan kita; dari pertanyaan jadi pernyataan. Kalau kita menulis biografi kita bisa menemukan rahasia-rahasia yang tak terungkap dari tokoh yang kita ungkap. Kalau bermain intel, penulis biografilah orang yang paling pantas untuk itu.

Apa saja ilmu yang mesti dipunyai seorang penulis biografi? Bagi penulis biografi hal-hal yang elementer dalam kehidupan harus dikuasai, misalnya psikologi, sosiologi, antropologi, makna simbolik, dll. Menulis biografi kita tak hanya berkutat pada satu ilmu saja, tetapi interdisipliner.

Tak cuma itu saja, biografi juga belajar tentang sisi manusiawi si tokoh. Kita akan dekat dengan tokoh yang di sana kita akan dihadapkan ruang-ruang privat dan publik. Dari menulis biografi kita jadi tahu keseharian si tokoh, kebiasaannya dari yang kecil sampai kebiasaannya yang terbesar. Pembaca tidak berjarak; dari sanalah biografi yang kita tulis memancarkan inspirasi. Jangan terkejut kalau menemukan tokoh yang ditulis dalam realitas publik bukan representasi dari wilayah privat atau pribadi. Ibaratnya dia mempunyai dua dunia yang bertolak belakang.

Privat dan publik, dua hal yang tak bisa dipisahkan dalam penulisan biografi. Selalu ada keterkaitan antara keduanya, dan itulah yang bisa membuat tulisan kita hidup. Karena belajar menulis biografi ibaratnya kita mengarungi semesta si tokoh. Sungguh ideal jika kita bisa mencari benang merah antara privat dan publik dalam biografi.


Pramoedya merupakan salah satu contoh penulis biografi yang berhasil tanpa metodologi yang dikuasai. Dia juga dikenal sebagai sejarawan karena sejarawan adalah seseorang yang punya karya. Jadi sejarawan bukan suatu profesi seperti halnya dosen atau guru sejarah. Kalau itu mereka hanya dosen atau guru sejarah, bukan sejarawan. Jika Pramoedya terbatas oleh teknologi dan informasinya, tentunya penulisan biografi sekarang ini bisa lebih baik lagi, bukankah kita sudah dikepung oleh teknologi? Tanpa harus menguasai metodologi, kita bisa menulis biografi. Hal yang paling penting dalam penulisan biografi adalah banyak baca dan pengetahuan. Mudah saja kan?

NURSAM adalah direktur penerbit Ombak yang berkonsentrasi penuh pada penerbitan buku-buku sejarah. Ia penulis biografi Soedjatmoko, Raden Saleh, dan kini sedang mempersiapkan biografi Sartono Kartodirdjo.

(Ditranskrip dari ceramah kepada 15 penulis muda ihwal biografi di kantor redaksi Indonesia Buku Jogjakarta)

Hillary Clinton adalah srikandi politik yang sedang bersinar di Amerika Serikat. Dia banyak disorot dan juga dituliskan. Kiprah politik perempuan diulas dua buku: A Woman in Charge: The Life of Hillary Rodham Clinton (Carl Bernstein/Knopf, 628 pp.) dan Her Way: The Hopes and Ambitions of Hillary Rodham Clinton (Jeff Gerth and Don Van Natta Jr./Little, Brown, 438 pp.). Dua buku itu direview sekaligus oleh Michael Tomasky di The New York Review of Books>>


Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>


Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>