Oleh Editor
Pagi ini setahun silam, 27 Mei, pukul 05.55, kota buku tua itu tergetar. Lalu setelah 55 detik, kota buku itu terhambur, tersobek, berantakan. Ia diguncang tarian bumi dari laut selatan segaris dengan jalur sungai opak yang selalu ritmik. Tarian maut itu geletekkan semua ruas buku Jogja yang mulai terbuka di pagi akhir pekan. Semua panik, semua lari.
Dan rumah-rumah pun terduduk. Lalu rintih dan tangis merundung. Darah mengalir. Luka menganga. Kepiluan menyeradak dari mata-mata yang kosong. Ibu mencari-cari anaknya, mencari-cari suami, mencari-cari sanak. Sementara anak memanggil-manggil di mana ibu, di mana ibu, di mana ibu, di mana ayah. Dan ribuan anak pun yatim tak beribu, piatu tak berbapak.
Tapi Jogja adalah buku. Ia bisa bangkit dengan solidaritas, ketahanan asa, dan kegigihan kerja. Pagi itu anak yang memanggil-manggil di mana ibu sedang menjemur buku yang basah airmata pencari ibu itu. Lalu pagi-pagi selanjutnya, siang-siang selanjutnya, dan malam2 selanjutnya, airmata buku itu sudah kering. Dan hari ini Jogja, si kota buku tua itu, sudah bisa membaca lagi seperti sediakala.
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
26 Mei 2007
Setahun Airmata Buku Jogja
Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>
Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>
KELUARGAIBUKU:: Aan Mansyur :: Adi Toha :: Argus Firmansah :: Arief Gunawan Soelistiyono :: Bambang Haryanto :: Berliani M Nugrahani :: Dumaria Pohan :: Endah Sulwesi :: Ferina Permatasari :: Hasan Aspahani :: H Tanzil :: Indahjuli Sibarani :: Indrian Koto :: Iswara N Raditya :: Jody Setiawan :: M Baihaqi :: M Sulhanuddin :: Nur Mursidi :: Peranita Sagala :: Sherlock Holmes ::
SITUSBUKU-INDONESIA:: Bataviase Books :: Buku Kita :: Forum Lingkar Pena :: Gagas Media :: Galang Press :: Gramedia :: Indonesia Membaca :: Kutu Buku :: Mizan :: Penulis Lepas :: Raya Kultura :: Ruang Baca KoranTempo :: Rumah Baca Buku Sunda :: Rumah Dunia :: Serambi :: Tanda Baca :: Yayasan Obor Indonesia ::
SITUSBUKU-DUNIA:: BBC Books (London) :: Book Critics (New York) :: Boston Globe Books :: Guardian Books :: Kirkus Reviews :: London Review of Books :: New York Review of Books (New York) :: Paris Review (Paris) :: Pittsburgh Gazette Review (Pennsylvania) :: Publishers Weekly :: Room to Read (California) :: Washington Post Books :: Writers Voice ::