14 September 2007

Tak Ada Clifford Geertz di (Perpus) Pare

Siapa akademisi yang bergelut di bidang sosial dan antropologi yang tak kenal dengan sepotong nama: Clifford Geertz (Lahir: San Francisco, 23 Agustus 1926). Siapa pula yang tak kenal dengan generalisasi antropologisnya yang nyaris klasik tentang (pemeluk) agama di Jawa: Santri, Abangan, dan Priyayi dalam karyanya The Religion of Java? Saya berani bertaruh mencari orang yang tahu nama ini saja di jantung kota Pare--Geertz menyebutnya Mojokuto--ibarat mencari seekor kutu di dalam lumbung. Padahal jasa Geertz memperkenalkan nama kota ini ke jantung universitas-universitas Eropa dan Amerika—khususnya yang mengkaji hal-ihwal spiritualitas masyarakat Jawa—bukanlah sepele.>>esai

Hillary Clinton adalah srikandi politik yang sedang bersinar di Amerika Serikat. Dia banyak disorot dan juga dituliskan. Kiprah politik perempuan diulas dua buku: A Woman in Charge: The Life of Hillary Rodham Clinton (Carl Bernstein/Knopf, 628 pp.) dan Her Way: The Hopes and Ambitions of Hillary Rodham Clinton (Jeff Gerth and Don Van Natta Jr./Little, Brown, 438 pp.). Dua buku itu direview sekaligus oleh Michael Tomasky di The New York Review of Books>>


Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>


Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>