11 Agustus 2007

Pernyataan Sikap atas Pembakaran Buku Sejarah

"Where books are burned, human beings are destined to be burned too..." *
-- Heinrich Heine

Pada 20 Juli lalu, Kejaksaan Negeri Depok membakar 1.247 buku sejarah, bahan pelajaran sekolah menengah pertama dan atas, karya guru-guru sejarah. Pembakaran ini dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri Bambang Bachtiar, Kepala Dinas Pendidikan Asep Roswanda dan Walikota Nurmahmudi Ismail.

Penyitaan maupun pembakaran buku-buku sejarah ini juga terjadi di Bogor, Indramayu, Kendari, Kuningan, Kupang, Pontianak, Purwakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Dasar hukumnya, menurut para jaksa, adalah keputusan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada Maret 2007 dimana Kejaksaan Agung melarang buku-buku itu, yang dibuat dengan dasar kurikulum pendidikan tahun 2004. Mereka dituduh tak mencantumkan kata ³PKI² dalam menerangkan Gerakan 30 September 1965. Penelitian terhadap isi buku-buku sejarah itu dilakukan Kejaksaan Agung atas permintaan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo.

Kami prihatin menyaksikan peristiwa ini. Kami belum tentu setuju dengan isi dari buku-buku itu. Namun kami tidak setuju pembakaran. Pembakaran buku ini mengingatkan kami pada pembakaran buku-buku yang dilakukan di Berlin dan berbagai kota lain di Jerman pada Mei 1933. Ketika itu, sambil menyanyikan lagu-lagu Nazi, para pendukung Adolf Hitler tersebut menghanguskan buku-buku karya Sigmund Freud, Albert Einstein, Thomas Mann, Jack London, HG Wells serta berbagai penulis lain. Buku-buku itu dianggap musuh Nazisme.

Kami menyayangkan peristiwa pelarangan dan pembakaran buku ini, yang bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Membakar dan merusak buku, dengan dalih apapun, merupakan tindakan yang lebih berbahaya dan lebih biadab daripada sensor atau pelarangan. Sulit untuk tak menyamakan pembakaran buku-buku ini dengan apa yang telah dilakukan kaum Nazi. Sulit juga bagi kami untuk menyamakan tindakan pembakaran ini dengan semangat fasisme, yang anti demokrasi dan anti hak asasi manusia.

Pembakaran buku menunjukkan bahwa pelaku pembakaran tak dapat menerima perbedaan pandangan, sesuatu yang niscaya dalam demokrasi. Lebih dari itu, pembakaran buku juga merupakan bentuk teror, tindakan menakut-nakuti bagi orang yang hendak menulis buku, dalam perspektif yang berbeda dengan penguasa.

Membakar buku merupakan tindakan kaum fasis yang tak pernah toleran kepada pendapat lain. Benito Mussolini, tokoh Itali yang memperkenalkan fasisme, menerangkan bahwa fasisme adalah segala sesuatu untuk memerangi sistem dan ideologi demokrasi, serta melawannya dalam aras teori maupun praktek. **

Oleh karena itu, atas dasar akal sehat dan demokrasi, kami menyatakan:

PERTAMA, menuntut permintaan maaf secara terbuka para pelaku pembakaran buku sejarah di Depok dan kota-kota lain, atas tindakan mereka yang bertentangan dengan sila kedua dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

KEDUA, menuntut kepada pemerintah Indonesia di semua tingkatan, terutama jajaran kejaksaan, untuk tak lagi menyikapi perbedaan pendapat dengan teror dan tindakan menakut-nakuti atau membakar buku --melainkan dengan membuka dialog ataupun debat publik demi melindungi demokrasi.

KETIGA, menuntut dihentikannya tindakan pelarangan buku atas alasan apapun. Bila terdapat perbedaan pandangan, yang diwakili sebuah buku, hendaknya dijawab dengan menerbitkan buku baru, yang mencerminkan pandangan yang berbeda --bukan dengan larangan.

Demikian pernyataan kami. Semoga demokrasi di negeri ini tetap abadi.

LAWAN FASISME, REBUT DEMOKRASI!

Jakarta, 7 Agustus 2007

Masyarakat Pencinta Buku Dan Demokrasi***

Abdul Malik (aktivis Garda Kemerdekaan)
Abdullah Alamudi (Dewan Pers)
Abdurrahman Wahid (mantan presiden Republik Indonesia)
Aboeprijadi Santoso (wartawan, pensiunan Radio Nederland di Hilversum)
Agus Suwage (pelukis, tinggal di Jogjakarta)
Ahmad Taufik (wartawan majalah Tempo, seorang deklarator Aliansi Jurnalis Independen)
Alex Asriyandi Mering (wartawan, Borneo Tribune di Pontianak)
Amalia Pulungan (aktivis Institute Global Justice)
Andreas Harsono (wartawan, ketua Yayasan Pantau)
Andy Budiman (wartawan SCTV)
Anick H.T. (Jaringan Islam Liberal)
Anugerah Perkasa (wartawan, harian Bisnis Indonesia)
Asiah (koordinator Kontras Aceh)
Asvi Warman Adam (sejarawan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Ayu Utami (novelis ³Saman² dan ³Larung²)
Bekti Nugroho (wartawan, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Dewan Pers)
Bonnie Triyana (sejarawan, Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah)
Budi Putra (sejarawan, wartawan, Asia Blogging)
Budi Setiyono (sejarawan, Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah)
Coen Husain Pontoh (penulis, aktivis, tinggal di New York)
Daniel Dhakidae (penulis ³Cendekiawan dan Kekuasaan dalam negara Orde Baru²)
Eko Endarmoko (penyusun ³Tesaurus Bahasa Indonesia²)
Elias Tana Moning (Pendidikan Luar Sekolah, Outreach International)
Eva Danayanti (direktur eksekutif Yayasan Pantau)
Eva Sundari (anggota DPR, Fraksi PDI-Perjuangan)
Fadjroel Rahman (kolumnis harian Kompas)
Faisal Basri (ekonom tinggal di Jakarta)
Frans Anggal (pemimpin redaksi harian Flores Pos di Ende)
Franz Magnis Suseno (dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara)
Ganjar Pranowo (sekretaris Fraksi PDI-Perjuangan DPR)
Garda Sembiring (People's Empowerment Consortium)
Garin Nugroho (sutradara)
Goenawan Mohamad (kolumnis ³Catatan Pinggir² majalah Tempo)
Hairul Anwar (wartawan, Pantau Aceh)
Hamid Basyaib (Freedom Institute)
Hans Luther Gebze (penulis, aktivis Papua, kelahiran Merauke)
Hasif Amini (editor jurnal kebudayaan Kalam)
Hendra Fadli (aktivis hak asasi manusia, Kontras Aceh)
Hilmar Farid (sejarawan, Jaringan Kerja Budaya)
Ignas Kleden (Center for East Indonesian Affairs, Komunitas Indonesia untuk Demokrasi)
Imam Syuja (anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, Banda Aceh)
Iqbal Farabi (Sekretaris Jendral Asosiasi Advokat Indonesia, Aceh)
J.J. Riza (sejarawan, Komunitas Bambu, Jakarta)
Jeni Putri Tanan (aktivis gereja, penulis buku ³Tangan Pernyertaan Tuhan²)
Kaka Suminta (wartawan Harian Terbit, tinggal di Subang)
Linda Christanty (penulis ³Kuda Terbang Maria Pinto², editor sindikasi Pantau Aceh)
Longgena Ginting (aktivis lingkungan hidup, Amsterdam)
Luthfi Assyaukanie (Universitas Paramadina)
M. Chatib Basri (ekonom)
M. Ridha Saleh (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)
Marco Kusumawijaya (ketua Dewan Kesenian Jakarta)
Melani Budianta (dosen Universitas Indonesia)
Mellyana Frederika Silalahi (penyiar radio, penulis, Bandung)
Moeslim Abdurrahman (PP Muhammadiyah, Ma¹arif Institute for Culture and Humanity)
Mohamad Guntur Romli (menulis buku ²Ustadz, Saya Sudah di Surga²)
Muhlis Suhaeri (penulis, tinggal di Pontianak)
Mulyani Hasan (Sekretaris Jendral Aliansi Jurnalis Independen, Bandung)
Mustawalad (Redelong Institut, Aceh)
Ninuk Kleden-Probonegoro (anthropolog, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Nirwan Dewanto (Teater Utan Kayu)
Nong Darol Mahmada (Jaringan Islam Liberal)
Nurani Soyomukti (aktivis Yayasan Komunitas Taman Katakata, Jakarta)
Rebeka Harsono (direktur Lembaga Anti Diskriminasi Indonesia)
Riri Riza (sutradara)
Rizal Mallarangeng (Freedom Institute)
Rosiana Silalahi (direktur pemberitaan SCTV)
Saiful Haq (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia)
Saiful Mujani (Lembaga Survei Indonesia)
Samiaji Bintang (wartawan, Pantau Aceh)
Santoso (direktur Kantor Berita Radio 68H)
Sapariah Saturi-Harsono (wartawan, Ikatan Perempuan Pelaku Media, Pontianak)
Sari Safitri Mohan (penulis, tinggal di New York)
Setia Darma Madjid (ketua Ikatan Penerbit Buku Indonesia)
Siti Maemunah (Jaringan Advokasi Tambang)
Siti Musdah Mulia (direktur Indonesian Conference on Religion and Peace)
Siti Nurrofiqoh (ketua Serikat Buruh Bangkit Tangerang)
Sonny Tulung (presenter televisi ³Famili 100²)
Subro (aktivis Madura, Sekolah Mitra Masyarakat di Pontianak)
Suciwati (Tifa Foundation, isteri almarhum Munir)
Syamsudin Harris (peneliti, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Teguh Santosa (wartawan, Rakyat Merdeka, mahasiswa University of Hawaii)
Titarubi (perupa, tinggal di Jogjakarta)
Todung Mulya Lubis (pengacara)
Tony Prabowo (komposer)
Ucu Agustin (novelis ³Being Ing² dan membuat dokumentasi Pramoedya Ananta Toer)
Ulil Abshar Abdalla (Jaringan Islam Liberal, mahasiswa Universitas Harvard, Cambridge)
Wandy N. Tuturoong (Komunitas Utan Kayu)
Winston Rondo (koordinator Perkumpulan Relawan CIS Timor, Kupang)
Yeni Rosa Damayanti (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika)


INFORMASI MEDIA:
Wandy N. Tuturoong +815 86005815
Mohamad Guntur Romli +815 13191313
Eva Danayanti +817 4811171


Catatan Kaki:

* ³Dimana buku dibakar, disana pula manusia akan dibakar Š²

** Benito Mussolini (1932) menerangkan, ³... fascism combats the whole complex system of democratic ideology, and repudiates it, whether in its theoretical premises or in its practical application" (Modern History Sourcebook).

*** Penandatanganan atas nama pribadi, keterangan hanya keperluan
identifikasi

Hillary Clinton adalah srikandi politik yang sedang bersinar di Amerika Serikat. Dia banyak disorot dan juga dituliskan. Kiprah politik perempuan diulas dua buku: A Woman in Charge: The Life of Hillary Rodham Clinton (Carl Bernstein/Knopf, 628 pp.) dan Her Way: The Hopes and Ambitions of Hillary Rodham Clinton (Jeff Gerth and Don Van Natta Jr./Little, Brown, 438 pp.). Dua buku itu direview sekaligus oleh Michael Tomasky di The New York Review of Books>>


Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>


Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>