21 Juli 2007

Buku Pelajaran, Masyarakat, dan Negara

Oleh Mula Harahap

Pada 27 Juni 2007, bertempat di Hotel Millenium Jakarta, Yayasan Adikarya-Ikapi menyelenggarakan sebuah pertemuan para penerbit buku teks pelajaran/buku sekolah. Pertemuan yang disponsori oleh Basic Education Program Kemitraan Australia-Indonesia ini bermaksud untuk memetakan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para penerbit dan mencari jalan keluar.

Guna mempersiapkan bahan untuk menjadi bahasan di pertemuan tersebut, kami menyelenggarakan serangkaian diskusi kecil dengan para pelaku penerbian buku teks pelajaran/buku sekolah. Hal-hal yang berkembang di dalam diskusi itulah, terutama soal penilaian, mutu, ketersediaan, dan distribusi yang kami susun menjadi bahan untuk pertemuan.


PENILAIAN

Penilaian Buku Teks Pelajaran

1. Penilaian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap buku yang akan dipakai di pendidikan dasar bukanlah sebuah hal yang baru. Sejak dahulu dunia pendidikan Indonesia telah mengenal lembaga penilaian buku.

2. Pernah ada masa ketika penilaian dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Dan buku yang lulus penilaian ditetapkan oleh surat keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada masa itu penilaian dilakukan tidak hanya terhadap buku teks pelajaran (buku teks utama dan buku teks pelengkap), tapi juga terhadap buku bacaan dan buku referensi. Kemudian penilaian terhadap buku teks pelajaran pernah pula dilakukan oleh Pusat Perbukuan Depdiknas. Dan buku-buku yang lulus penilaian ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Dewasa ini penilaian terhadap buku teks pelajaran dilakukan oleh Badan Nasional Standarisasi Pendidikan (BSNP). Dan buku yang lulus penilaian ditetapkan oleh Surat Keputusan Menteri.

3. Para penerbit yang bergerak dalam industri penerbitan buku teks pelajaran / buku sekolah memiliki pendapat yang beragam terhadap penilaian yang dilakukan oleh negara ini. Ada yang berpendapat bahwa di era demokratisasi dan liberalisasi ini sebenarnya lembaga penilaian tidak dibutuhkan lagi. Biarlah guru yang menilai sendiri mana buku yang layak untuk dipakanya.

4. Tapi ada juga penerbit—bahkan merupakan mayoritas—yang berpendapat bahwa tanggung jawab pendidikan memang ada di tangan pemerintah. Karena itu adalah hak pemerintah untuk menilai dan mengatur buku mana yang boleh atau tidak boleh dipakai di sekolah. Apalagi penilaian itu hanyalah upaya untuk menetapkan mana buku yang layak atau tidak layak untuk dipakai di sekolah berdasarkan sebuah standar minimal.

5. Penilaian bukanlah upaya pemeringkatan. Kalau melihat daftar sejumlah besar buku untuk suatu mata pelajaran dan kelas tertentu, maka calon pemakai tidak pernah bisa mengetahui mana buku yang paling baik. Karena itu kebebasan untuk memilih buku yang paling baik di antara sejumlah buku yang lulus penilaian masih tetap berada di tangan guru.

6. Para penerbit yang bisa menerima kehadiran lembaga penilaian ini berpendapat bahwa hal yang perlu dipermasalahkan ialah apakah penilaian tersebut dilakukan secara fair dan obyektif.

7. Sebelum melakukan penilaian, BSNP sebenarnya sudah mengumumkan sebuah instrumen penilaian yang berisi hal-hal yang minimal harus dipenuhi oleh sebuah buku teks pelajaran. Dan sebagian penerbit berpendapat bahwa instrumen penilaian tersebut sudah baik. Tapi ada juga penerbit yang berpendapat bahwa instrumen penilaian tersebut terlalu ideal dan sukar untuk dipenuhi.

8. Salah satu contoh tentang hal yang terlalu ideal tapi sukar untuk dipenuhi ialah membuat sebuah buku teks pelajaran IPA dan IPS terpadu untuk SMP. Ketentuan kurikulum mengatakan bahwa mata pelajaran IPA dan IPS untuk SMP adalah mata pelajaran terpadu. Dan sebagaimana diketahui bahwa apa yang dikenal dengan IPA dan IPS itu meliputi beberapa sub mata pelajaran. Bagaimana membuat sebuah buku yang terpadu—bukan sandwich atau kue lapis—dari beberapa sub mata pelajaran tersebut?

9. Upaya untuk memasukkan standar minimal fisik buku (kertas dan penjilidan) dalam kriteria penilaian adalah salah satu contoh lagi dari sebuah hal yang terlalu ideal tapi membingungkan. Kalau sebuah penerbit ingin menerbitkan bukunya dengan memakai kertas koran dan dijilid dengan jahit kawat—agar harga jualnya menjadi lebih murah—mengapa pula penerbit tersebut harus dipaksa untuk menerbitkan bukunya di atas kertas HVS 70 gram dan dijilid dengan jahit benang?

10. Peraturan Mendinas No. 11 Tahun 2005 yang mensyaratkan para pendidik untuk mempertahankan masa pakai sebuah buku selama 5 tahun mendapat berbagai penafsiran dan tanggapan. Ada fihak yang berpendapat bahwa persyaratan itu sebenarnya dikeluarkan untuk mengeliminir praktek gonta-ganti buku demi tujuan komersil, yang sering dilakukan oleh pihak penerbit dan sekolah, dan yang akibatnya memberatkan orangtua yang harus membeli buku tersebut. Tapi ada juga fihak yang berpendapat bahwa persyaratan yang mewajibkan para pendidik agar mempertahankan buku selama 5 tahun memang mencakup pengertian fisik. Dengan lain perkataan, secara fisik sebuah buku memang harus bisa bertahan selama 5 tahun. Tampaknya BSNP adalah salah satu fihak yang menganut pemahaman tersebut.

11. Penilaian buku teks pelajaran yang dilakukan setiap tahun—tapi yang terbatas hanya terhadap buku-buku dari mata pelajaran tertentu dan derajat sekolah tertentu (SD, SMP atau SMA)—oleh penerbit juga dirasakan sebagai hal yang menghambat kreativitas dan produktifitas mereka. Sebaiknya penilaian dilakukan sepanjang tahun terhadap buku-buku dari seluruh mata pelajaran dan seluruh derajat sekolah.

12. Ada kesan bahwa penilaian yang dilakukan dengan cara mencicil, atau menilai buku teks pelajaran hanya untuk sejumlah mata pelajaran dan derajat sekolah tertentu, adalah upaya yang disengaja untuk mengeliminir peluang sekolah untuk mengganti-ganti buku demi tujuan komersil.

13. Praktek sekolah untuk mengganti-ganti buku setiap tahun demi tujuan komersil memang harus dieliminir. Tapi peluang penerbit untuk menerbitkan buku yang baik dan mendapat pengesahan atas buku tersebut, serta mempromosikan buku tersebut dan menjualnya dalam sebuah mekanisme pasar yang bebas dan bersih dari praktek-praktek korupsi, hendaklah juga dibuka dengan seluas-luasnya.


Penilaian Buku-buku Sekolah Lainnya dan Proyek DAK

1. Dalam satu-dua tahun terakhir ini Pemerintah meluncurkan lagi sebuah skim penyediaan buku yang dikenal dengan skim DAK. Skim pembelian buku ini adalah bagian dari sebuah skim besar yang tujuannya antara lain merehabilitasi bangunan sekolah, memperlengkapi sekolah dengan peralatan belajar non-buku, dan memperlengkapi sekolah dengan buku pemerkayaan dan buku referensi untuk peserta didik. Walau pun di dalam skim ini pembelian buku hanyalah merupakan salah satu unsur, tapi anggaran yang dilibatkannya untuk buku jauh lebih besar dari anggaran yang dilibatkan oleh Skim BOS-Buku.

2. Buku-buku yang dibeli di dalam skim BOS-Buku adalah buku-buku teks pelajaran yang telah lulus dari penilaian dan mendapat Surat Keputusan Menteri. Tapi buku pemerkayaan dan referensi yang dibeli oleh skim DAK tidak mengenal lembaga penilaian.

3. Di satu sisi, kebijakan untuk membebaskan buku pemerkayaan dan referensi dari lembaga penilaian mungkin baik juga. Sekolah-sekolah diberi kebebasan untuk memilih buku pemerkayaan dan referensi yang dirasanya relevan dan penting baginya.

4. Tapi pada sisi lain kebijakan ini juga mengandung kelemahan. Buku apa saja boleh ditafsirkan oleh siapa saja sebagai buku referensi dan pemerkayaan. Bahkan dalam kasus skim DAK sebagian dari buku-buku yang direncanakan untuk dibeli sebenarnya belum tersedia di pasar, dan bahkan belum pernah dinilai.

5. Selama ini penilaian buku terhadap buku bacaan dan referensi dilakukan oleh Pusat Perbukuan. Dan buku yang lulus penilaian ditetapkan oleh surat keputusan Kepala Pusat Perbukuan. Tapi tampaknya penilaian itu tidak terlalu mengikat para penerbit dan berbagai proyek pemerintah. Mengingat bahwa buku-buku sekolah lainnya- di luar buku teks pelajaran- juga memainkan peranan yang penting dalam kegiatan belajar-mengajar, maka barangkali penting juga dipikirkan adanya sebuah sistem penilaian yang lebih otoritatif tapi adil dan transparan.

6. Sejalan dengan upaya menyelenggarakan sebuah sistem penilaian yang adil dan transparan bagi buku-buku sekolah lainnya (di luar buku teks pelajaran) maka barangkali perlu juga dipikirkan upaya untuk mendefinisakan ulang dan menertibkan berbagai istilah buku sekolah itu (buku perpustakaan, buku referensi buku pemerkayaan, buku bacaan, buku tek utama, buku teks pelengkap dsb.). Acapkali sebuah istilah hadir bukan didasarkan atas fungsi buku tersebut dalam proses belajar-mengajar; tapi lebih atas kepentingan politik, ekonomi dsb.


Informasi Buku Yang Lulus Penilaian

1. Keputusan menteri yang dikeluarkan secara berkala untuk merekomendasikan—atau bahkan mewajibkan—buku-buku teks pelajaran mana saja yang layak dipakai dalam proses pembelajaran di sekolah memang adalah sebuah hal yang baik. Adapun yang menjadi pertanyaan ialah, sejauh mana sekolah—terutama yang berada di daerah terpencil—mengetahui keputusan tersebut? Atau pertanyaan yang lebih jauh lagi, sejauh mana sekolah bisa melihat dan memperbandingkan buku-buku yang telah lulus penilaian itu agar bisa memilih yang terbaik?

2. Surat Keputusan Menteri dan daftar dari buku-buku yang telah lulus penilaian itu mungkin saja bisa sampai ke Dinas Propinsi, Dinas Kabupaten/Kota, Kantor Kecamatan, atau bahkan sampai ke sekolah. Tapi peluang buku-buku tersebut untuk bisa dikenali secara fisik sangatlah kecil.

3. Perlu diketahui bahwa selama ini buku-buku teks pelajaran umumnya dipasarkan dengan sistem penjualan langsung. Karena itu hanya buku dari penerbit tertentu saja, yaitu mereka yang memiliki jaringan promosi dan distribusi yang kuat saja, yang memiliki peluang untuk bisa dkenali secara fisik oleh sekolah. Dan penerbit ini tentu saja tidak bisa diharapkan untuk memperkenalkan buku-buku dari pesaingnya.

4. Memungkinkan sekolah mengenali sebanyak mungkin buku yang lulus penilaian—agar bisa memilih buku yang terbaik—tentu memerlukan upaya yang khusus. Di dalam sebuah mekanisme pasar yang terstruktur secara sehat upaya itu tentu saja akan dilakukan secara otomatis oleh grosir buku dan toko buku.

5. Tapi di dalam konteks mekanisme pasar yang didominasi oleh sistem penjualan langsung oleh penerbit, dimana peranan grosir dan toko buku sangat terbatas, maka peranan itu seyogianya dilakukan oleh Pemerintah.

6. Selama ini upaya penyebaran informasi tentang buku-buku yang lulus penilaian memang telah dilakukan oleh Pusat Perbukuan. Tapi upaya itu—yang umumnya hanya menyebar-luaskan daftar dari buku-buku yang lulus penilaian—tentu saja masih jauh dari memadai. Barangkali perlu dipikirkan upaya penyelenggaraan pameran-pameran buku di ibukota kabupaten/kota, penerbitan katalog bersama, pemuatan contoh isi buku dalam halaman web, dsb.

7. Upaya penyebaran informasi yang lebih efektif sebagaimana diuraikan dalam Butir 6 memang membutuhkan biaya yang besar. Biaya itu mungkin bisa menjadi lebih ringan kalau upaya itu dilakukan oleh Pemerintah (Pusat Perbukuan) dalam kerjasama dengan asosiasi penerbit dan asosiasi toko buku.

8. Tapi seandainya pun biaya tersebut harus dipikul sepenuhnya oleh pemerintah, hal tersebut masih bisa dibenarkan. Perlu diketahui bahwa biaya yang dikeluarkan oleh negara selama ini untuk menyelenggarakan penilaian buku sangatlah besar. Adalah hal yang mubazir kalau hasil penilaian tersebut tidak diketahui oleh masyarakat secara luas. Karena itu tambahan sedikit biaya lagi untuk mensosialisasikan hasil penilaian agar lebih efektif, rasanya adalah hal yang sah-sah saja.


MUTU

Mutu dan Penilaian yang Didasarkan Atas Standar Minimal

1. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11 Tahun 2005 mensyaratkan bahwa buku teks pelajaran yang digunakan pada satuan pendidikan dasar dan menengah haruslah merupakan buku yang telah mendapat rekomendasi penilaian kelayakan dari Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

2. Sejak dahulu—setiap tahun—Pemerintah (Depdiknas) memang selalu melakukan penilaian terhadap buku teks pelajaran. Dan buku-buku yang lulus penilaian mendapat Surat Keputusan sebagai buku yang layak dan wajib dipakai di sekolah. Tapi dalam Surat Keputusan tersebut tidak ada pemeringkatan mutu. Calon pengguna buku (terutama guru) hanya mengetahui sejumlah buku yang layak dan wajib dipakai. Gurulah yang harus menentukan mana buku yang paling bermutu dari sejumlah buku yang ada dalam Surat Keputusan tersebut. Menentukan buku yang paling bermutu dari sederet buku yang lolos penilaian bukanlah hal yang mudah. Dalam banyak hal buku-buku teks pelajaran di Indonesia cenderung untuk seragam.


Mutu dan Guru

1. Boleh jadi di antara buku-buku teks pelajaran yang cenderung seragam sebagaimana diuraikan di atas memang ada satu-dua buku yang menonjol mutunya. Dan boleh jadi pula mutu itulah yang dijadikan dasar oleh beberapa guru dalam memilih buku.

2. Tapi dalam banyak kasus, sebuah buku dipilih oleh guru bukanlah berdasarkan mutu sebagaimana yang dimaksud di atas:

-Sebuah buku bisa dipilih karena si penerbit menjanjikan imbalan materi yang cukup baik bagi si guru asalkan bukunya dipakai di sekolah.

-Sebuah buku bisa dipilih karena si penerbit menjanjikan rabat yang cukup besar bagi si guru yang akan menjual buku itu bagi murid-muridnya.

-Sebuah buku bisa dipilih karena si penerbit menyediakan “buku kunci” atau jawaban terhadap latihan-latihan/soal-soal yang terdapat di dalam buku. Karena faktor kemampuan dan faktor ekonomi, banyak guru yang “tidak sempat” untuk melakukan persiapan mengajar dan membuat soal. Hal ini jugalah pada awalnya yang menjadi alasan menjamurnya pemakaian buku LKS (Lembar Kerja Siswa) di sekolah-sekolah. Tapi dalam perkembangan lebih lanjut buku LKS memang telah menjadi sarana guru untuk mencari tambahan uang. Guru memperoleh rabat yang cukup besar dari menjual buku LKS kepada para peserta didik.

-Sebuah buku bisa dipilih karena atasan si guru, yaitu kepala sekolah atau pejabat institusi (swasta maupun pemerintah) yang membawahi si guru, mendikte buku yang harus dipilihnya.

-Sebuah buku bisa dipilih karena hanya itulah satu-satunya buku yang dikenal oleh si guru. Dan hal yang terakhir ini terutama terjadi di daerah-daerah terpencil dimana tidak ada toko buku dan hanya salesman dari satu-dua penerbit saja yang mampu menerobos daerah terpencil itu

-Sebuah buku juga bisa dipilih karena guru merasa bahwa buku tersebut berisi informasi yang sangat dibutuhkannya untuk mengajar. Di banyak daerah—terutama di daerah-daerah terpencil—guru nyaris tidak memiliki bahan dan informasi lain yang dibutuhkannya dalam mempersiapkan diri untuk mengajar. Buku teks pelajaran menjadi sumber satu-satunya bagi guru. Karena itu buku teks pelajaran acapkali berisi hal-hal yang sebenarnya adalah konsumsi guru dan yang tak perlu dibaca oleh peserta didik. Hal ini jugalah yang menyebabkan mengapa—pada tahun 80-an dan 90-an—hampir semua buku teks pelajaran didahului dengan silabus atau kurikulum. Guru tidak pernah mendapat naskah kurikulum. Karena itu para penerbit buku teks pelajaran dengan sukarela “membantu” guru dengan memasukkan silabus dari materi pembelajaran terkait di halaman depan setiap buku.


Mendefinisikan Ulang Buku Teks Pelajaran

1. Ada kesan bahwa buku teks pelajaran sekarang terlalu “berat” dan tebal. Disamping berisi materi-materi yang memang perlu diketahui oleh peserta didik, maka buku teks juga acapkali berisi materi yang sebenarnya hanya perlu diketahui oleh guru, berisi soal-soal latihan untuk dikerjakan oleh peserta didik, dan berisi kertas bergaris sebagai tempat peserta didik menuliskan jawaban dari soal atau latihan tersebut. Dan hal yang terakhir ini menyebabkan buku teks sering tidak bisa diwariskan lagi oleh seorang peserta didik kepada adik-kelasnya karena telah penuh dengan coretan.

2. Barangkali sudah saatnya untuk merumuskan kembali apa sebenarnya yang dimaksud dengan buku teks pelajaran, dan merampingkannya. Buku teks pelajaran sebagaimana yang ada sekarang ini mungkin bisa dipecah menjadi buku guru, buku teks dan buku latihan. Hal-hal yang perlu diketahui oleh guru biarlah dimuat dalam buku guru. Hal-hal yang perlu diketahui oleh peserta didik biarlah dimuat dalam buku teks. Dan hal-hal yang perlu dikerjakan atau dicorat-coret peserta didik biarlah dimuat dalam buku latihan.

3. Upaya perumusan dan perampingan sebagaimana yang diuraikan dalam Butir 2 tentu akan menghasilkan efisiensi dan efektivitas yang tinggi. Buku teks pelajaran menjadi lebih tipis, lebih murah harganya dan bisa diwariskan oleh peserta didik kepada adik-kelasnya. Buku guru—kalau pun harus disediakan oleh sekolah (swasta atau negara)—cukup dibeli dalam rasio yang lebih kecil dibandingkan dengan buku teks. Buku latihan yang sudah dicorat-coret boleh jadi memang harus diganti dan dibeli setiap tahun. Tapi karena ia sudah terpisah dari buku teks sebagaimana yang ada sekarang, harganya tentu menjadi lebih murah dan tak terlalu membebani keuangan orangtua (peserta didik) atau keuangan negara.


Kemampuan Guru dalam Memilih dan Menggunakan Buku Teks Pelajaran

1. Guru memainkan peranan yang sangat penting dalam membimbing dan mengarahkan peserta didik menggunakan buku teks untuk mencapai hasil yang paling maksimal dalam memahami sebuah materi pembelajaran. Dan ini mensyaratkan profesionalisme guru. Karena itu meningkatan kemampuan guru dalam memilih dan menggunakan buku teks erat kaitannya dengan meningkatkan profesionalisme guru. Guru yang profesional tidak akan lagi memilih sebuah buku teks hanya karena alasan bahwa si penerbit menyediakan kumpulan latihan/soal dan kunci jawaban atas materi pembelajaran yang dibahas.

2. Guru juga perlu diperlengkapi dengan berbagai informasi yang memampukannya dalam melakukan tugas mengajar. Barangkali perlu dipikirkan sebuah skim penyediaan berbagai buku bacaan untuk guru sebagai bagian integral dari penyediaan buku perpustakaan sekolah. Selama ini hanya ada penyediaan buku bacaan untuk peserta didik. Dan penyediaan buku bacaan untuk guru hampir tak pernah ada. Peraturan Mendiknas No. 11 Tahun 2005 menyatakan: “Bahwa disamping mengunakan buku teks pelajaran sebagai acuan wajib dalam proses pembelajaran, maka guru juga perlu menggunakan buku panduan pendidikan, buku pengayaan dan buku referensi”.

3. Meningkatkan kemampuan guru dalam memilih dan menggunakan buku teks pelajaran juga tak lepas dari sejauh mana informasi yang dimiliki guru tentang buku yang telah lulus penilaian. Sebuah buku yang telah lulus penilaian boleh saja bermutu, tapi bila guru tidak memiliki informasi apa pun tentang buku tersebut (apalagi melihat fisiknya), maka pilihannya tentu saja akan jatuh hanya kepada buku yang informasi dan fisiknya dikenalnya. Barangkali perlu dipikirkan sebuah upaya penyebaran informasi yang selengkap dan seluas mungkin tentang buku-buku teks pelajaran yang telah lulus penilaian, dan yang layak serta wajib dipakai di sekolah.

4. Meningkatkan kemampuan guru dalam memilih dan menggunakan buku teks pelajaran juga tak lepas dari sejauh mana kebebasan yang dimiliki oleh guru. Peraturan Mendiknas No.11 Tahun 2005 menyatakan: “Buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih melalui rapat guru dengan pertimbangan Komite Sekolah”. Intervensi kekuasaan dalam menentukan buku teks yang harus dipilih oleh guru sudah saatnya untuk dikurangi.

5. Akhirnya, meningkatkan kemampuan guru dalam memilih dan menggunakan buku teks pelajaran juga erat kaitannya dengan mengeliminir praktek-praktek penjualan/pemaksaan pemakaian buku oleh guru kepada peserta didik. Peraturan Mendiknas No. 11 menyatakan: “Guru, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah tidak dibenarkan melakukan penjualan buku kepada peserta didik”. Selama ini banyak orang tua yang—walau pun mengeluh—tapi tetap saja membeli buku apa pun yang disodorkan oleh guru untuk dipakai oleh anaknya (peserta didik) di sekolah. Acapkali untuk sebuah materi pembelajaran seorang peserta didik memiliki buku secara berlebihan. Berbekal Peraturan Mendiknas seperti tersebut di atas, dan dengan disokong oleh masyarakat luas, sudah saatnya orangtua bersikap kritis terhadap praktek-praktek penjualan/pemaksaan pemakaian buku oleh guru kepada peserta didik.


Buku Teks Pelajaran dan “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”

1. Kini Pemerintah tidak lagi menetapkan sebuah kurikulum nasional yang tersentralisir dan terperinci sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi, kini pemerintah memberlakukan sebuah “kurikulum tingkat satuan pendidikan”. Pemerintah hanya menetapkan standar kompetensi dan standar kelulusan secara nasional yang harus dicapai oleh seorang peserta didik. Selanjutnya setiap sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan silabusnya sendiri sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.

2. Semangat otonomi dan desentralisasi dalam kurikulum ini sebenarnya membuka peluang bagi munculnya buku teks pelajaran yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi sebuah sekolah. Besar kemungkinan akan muncul buku-buku teks pelajaran yang lebih ramping dan yang memuat hal-hal pokok tentang sebuah materi pembelajaran. Ada pun tanggung jawab untuk pemerkayaan dan pendalaman materi pembelajaran akan lebih banyak berada di tangan guru, yang tentunya harus dibantu dengan berbagai buku panduan pedidikan, buku pengayaan dan buku referensi.

3. Tapi disebabkan oleh faktor profesionalisme dan mutu guru, serta kurangnya bahan bacaan sebagaimana yang disebutkan terdahulu, maka rasanya tidak banyak sekolah yang mampu mengembangkan silabus berdasarkan standar kompetensi dan standar kelulusan yang telah ditetapkan Pemerintah secara nasional itu. Karena menyadari keterbatasan itu, maka jauh-jauh hari Pemerintah telah mengeluarkan sebuah model silabus dari berbagai materi pembelajaran yang bisa ditiru dan dikembangkan oleh sekolah. Suka atau tidak suka, model silabus itulah yang menjadi acuan penerbit dalam membuat buku teks pelajaran akhir-akhir ini. Akibatnya terjadi lagi keseragaman dalam buku teks pelajaran.


Antara Mutu Fisik dan Mutu Isi

1. Dalam melakukan penilaian, BSNP mensyaratkan bahwa sebuah buku teks pelajaran haruslah memakai kertas HVS 70 gram (minimal) dan dijilid dengan jahit-benang. Persyaratan ini sebenarnya kontra-produktif dengan upaya membuat sebuah buku yang bermutu dan murah. Kalau sebuah penerbit bisa membuat sebuah buku teks pelajaran yang tipis tapi bermutu, dan buku tersebut cukup dijilid dengan jahit-kawat atau perfect-binding (yang biayanya lebih murah); mengapa pula buku tersebut harus dipaksakan dijilid dengan jahit-benang (yang biayanya lebih tinggi)? Demikian pula halnya, kalau sebuah penerbit ingin mencetak bukunya di atas kertas koran (yang biayanya lebih murah); mengapa pula buku tersebut harus dipaksakan untuk dicetak di atas kertas HVS 70 gram (yang biayanya lebih mahal)?

2. Peraturan Mendiknas No.11 Tahun 2005 memang mengatur: “Masa pakai buku teks pelajaran paling sedikit 5 tahun”. Tapi bila ayat-ayat lain dari pasal yang mengatur tentang masa pakai 5 tahun itu dipelajari lebih seksama, maka sebenarnya bisa ditafsirkan bahwa pengaturan itu lebih berkaitan dengan isi buku; bukan fisik buku.

3. Bila yang mensyaratkan masa pakai buku secara fisik 5 tahun itu adalah sebuah proyek pengadaan buku (fihak yang membelanjakan uang), maka pengaturan tentang jenis kertas dan metode penjilidan yang harus diterapkan atas sebuah buku mungkin masih bisa diterima. Tapi BSNP bukanlah sebuah proyek pengadaan buku. Karena itu seyogianya BSNP memusatkan perhatian saja kepada standar isi sebuah buku. Dan perlu diingat bahwa buku yang dinilai BSNP tidak seluruhnya menjadi buku yang dipesan oleh proyek pengadaan buku yang dibiayai dengan dana negara. Sebagian dari buku itu ada yang dijual di pasar bebas dan dibeli dengan dana masyarakat (orang tua peserta didik).


Skim BOS-Buku dan Buku Teks Pelajaran yang Relatif Murah Harganya

1. Skim BOS-Buku adalah proyek penyediaan buku teks pelajaran secara cuma-cuma oleh Pemerintah bagi satuan pendidikan tingkat SD dan SMP di seluruh Indonesia. Pada tahun 2006 diputuskan setiap peserta didik di SD dan SMP memperoleh dua buku dari mata pelajaran yang berbeda.

2. Karena berbagai pertimbangan dan alasan maka para penerbit sepakat untuk menerima harga pembelian buku Rp. 20.000,-/eksemplar yang ditawarkan oleh Pemerintah.

3. Pemerintah menetapkan harga buku secara seragam tanpa memperhitungkan ketebalan halaman buku, jumlah warna dan kwalitas kertas yang dipakai. Dengan lain perkataan, semua buku diasumsikan memiliki ketebalan halaman yang sama, dicetak di atas kertas yang sama (HVS 70 gram), dan memakai warna cetak yang sama banyaknya. Padahal dalam kenyataannya ketebalan dan jumlah warna cetak yang dimiliki oleh setiap buku berbeda-beda. Pemerintah mensyaratkan bahwa buku yang dipasok penerbit dalam Skim BOS-Buku haruslah sama spesifikasinya dengan contoh ketika buku itu dinilai oleh pemerintah (Pusbuk atau BSNP).

4. Dengan harga buku yang seragam (Rp. 20.000,-) tapi dengan kwalitas fisik yang berbeda-beda, tentu saja ada penerbit yang melaksanakan proyek itu dengan senang hati, dan ada pula penerbit yang melaksanakannya dengan terpaksa. Salah satu alasan yang dipakai oleh penerbit yang merasa terpaksa menerima dan melaksanakan skim tersebut ialah, bahwa mereka tidak ingin kehilangan pasar. Walau pun keuntungannya menipis atau mungkin merugi, tapi mereka tetap berupaya mengisi pesanan Pemerintah yang dilakukan melalui setiap sekolah itu. Mereka tidak ingin pasarnya digeser oleh buku teks pelajaran dari penerbit saingannya.

5. Tapi belajar dari pengalaman harga yang seragam (Rp. 20.000,-) yang diberlakukan dalam Skim BOS-Buku Tahun 2006, maka ada sejumlah penerbit yang mulai mengurangi halaman buku-buku teks pelajarannya yang terbaru, ketika mereka memasukkan buku-buku tersebut untuk dinilai oleh BSNP pada tahun 2007. Mereka berasumsi jika nanti pada Skim BOS-Buku berikutnya Pemerintah menawar buku mereka dengan harga Rp. 20.000,- (atau sedikit lebih mahal dari Rp. 20.000,-) maka mereka masih dapat memperoleh keuntungan yang wajar.

6. Sebagian penerbit yang lainnya tetap saja memasukkan buku teks pelajarannya yang terbaru tanpa mengurangi halaman bukunya. Mereka berpendapat bahwa ketebalan halaman bukunya sudah tidak bisa lagi dikurangi, karena hal tersebut akan mengurangi mutu. Mereka berasumsi, jika bukunya kelak lulus dari penilaian, dan Skim BOS-Buku hanya berani menawar buku tersebut dengan harga Rp. 20.000,- (atau sedikit lebih mahal dari Rp. 20.000,) maka mereka memilih untuk tidak menawarkan buku itu dalam Skim BOS-Buku.

7. Harga buku yang ditetapkan secara pukul-rata sebesar Rp. 20.000,- oleh Skim BOS-Buku ternyata memberi dampak juga terhadap pemasaran buku di pasar bebas. Kini di kalangan konsumen timbul kesan bahwa harga buku teks pelajaran sebesar Rp. 20.000,- itu adalah harga yang cukup pantas. Banyak penerbit yang bukunya jauh lebih tebal (dan harganya jauh di atas Rp. 20.000,-) mendapat tekanan dari konsumen di pasar bebas agar menjual bukunya dengan harga yang menyerupai harga Skim BOS-Buku yaitu Rp. 20.000,- Beberapa proyek pengadaan buku lainnya di tingkat Pusat/Propinsi/Kabupaten-Kota yang diselenggarakan oleh Pemerintah, yang kwanititas pembeliannya jauh di bawah kwantitas pembelian Skim BOS-Buku, kini juga ikut-ikutan “menekan” penerbit agar menjual bukunya dengan harga Rp. 20.000,-

8. Barangkali dalam pelaksanaan Skim BOS-Buku di masa mendatang penetapan harga beli buku sebaiknya tidak dilakukan secara pukul rata tanpa memandang jumlah halaman dan aspek-aspek grafika lainnya. Perlu dipikirkan sebuah standar harga beli per halaman yang di dalamnya juga sudah diperhitungkan aspek kwantitas pembelian dan aspek grafika lainnya. Sebuah buku yang dibeli oleh sebuah proyek dalam kwantitas 1 juta eksemplar, tentu akan berbeda harganya dengan sebuah buku yang dibeli oleh sebuah proyek lainnya dalam kwantitas 1 ribu eksemplar.

9. Sejalan dengan pemikiran seperti diuraikan dalam Butir 8 di atas, perlu juga dipikirkan kemungkinan membuat buku teks pelajaran yang lebih tipis tapi bermutu dan bisa dijual dengan harga Rp. 20.000,- (atau sedikit lebih mahal dari Rp. 20.000,-). Mungkin salah satu solusi ialah dengan melakukan perumusan ulang tentang pengertian buku teks pelajaran dan membagi buku teks pelajaran yang “berat” dan tebal sebagaimana yang ada sekarang ini menjadi buku teks, buku guru dan buku latihan/soal.


KETERSEDIAAN

Peranan Negara

1. Buku teks pelajaran yang digunakan peserta didik di sekolah disediakan oleh beberapa fihak. Fihak yang pertama adalah negara, yang memberikan buku teks pelajaran secara cuma-cuma kepada sekolah untuk dipinjamkan kepada murid.

2. Dahulu buku diberikan melalui skim-skim penyediaan buku yang umumnya diselenggarakan secara terpusat dari Jakarta. Pemerintah membeli sejumlah buku teks pelajaran dari penerbit swasta, lalu mendistribusikannnya ke seluruh sekolah. (Dalam beberapa skim penyediaan buku, bahkan yang menulis dan menerbitkan buku adalah pemerintah).

3. Tapi sejalan dengan kebijaksanaan demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan serta otonomisasi daerah, kini skim penyediaan buku disebar ke daerah. Pemerintah juga cenderung untuk lebih memilih buku yang telah beredar di pasar dan diterbitkan oleh penerbit swasta ketimbang harus menerbtkannya sendiri. Judul-judul buku yang harus dibeli mungkin saja masih ditetapkan oleh pemerintah pusat, tapi setidak-tidaknya wewenang pembelian dan pendistribusian buku tersebut telah diberikan kepada pemerintah daerah (propinsi atau kabupaten/kota). Bahkan dalam kasus Skim BOS-Buku atau Skim DAK, wewenang untuk membeli buku sudah diberikan ke tangan sekolah. Pemerintah pusat hanya menetapkan daftar buku yang harus dibeli, menetapkan pagu harga dan prosedur pembelian, dan mengirimkan uangnya ke sekolah. Sekolah-lah yang memutuskan buku mana yang harus dibeli berdasarkan daftar yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

4. Sesuai dengan kemampuan keuangan dan kebutuhan masing-masing daerah, maka kini pemerintah daerah (propinsi maupun kabupaten/kota) juga melakukan berbagai proyek penyediaan buku secara cuma-cuma kepada sekolah yang ada di wilayahnya.

5. Sampai saat ini di antara berbagai skim yang dilakukan oleh negara/pemerintah di berbagai tingkatan itu belum terdapat koordinasi. Sekolah acapkali menerima buku yang sama dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah (propinsi atau kabupaten/kota). Akibatnya buku menjadi mubazir di sekolah.

6. Peraturan Mendiknas No. 11 Tahun 2005 mensyaratkan bahwa buku teks pelajaran yang digunakan oleh sekolah harus dipilih dari buku-buku yang telah mendapat penetapan menteri. Tapi sebagaimana diketahui, buku yang sudah mendapat penetapan menteri baru meliputi beberapa mata pelajaran saja. Masih ada sejumlah mata pelajaran lainnya yang buku teksnya belum mendapat penetapan menteri. Tentu saja para pelaksana skim penyediaan buku di daerah tidak berani membeli buku di luar daftar yang telah ditetapkan oleh Mendiknas. Mereka hanya membeli buku yang sudah mendapat penetapan menteri Akibatnya terjadilah overlapping dalam penyediaan buku sebagaimana disebutkan dalam Butir 5.

7. Untuk mencegah overlapping dalam penyediaan buku, barangkali pemerintah perlu lebih mempercepat proses penilaian buku sehingga daftar buku teks yang mendapat penetapan menteri bisa mencakup semua mata pelajaran. Upaya koordinasi dan penyebaran informasi kepada berbagai proyek penyediaan buku di berbagai tingkatan daerah yang berbeda-beda itu juga sudah saatnya untuk dipikirkan.

8. Hal yang tak kalah penting untuk juga mulai dipikirkan adalah pembagian tugas di antara berbagai fihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan buku teks pelajaran bagi peserta didik: Mata-mata pelajaran mana saja yang akan didanai oleh pemerintah pusat? Mata-mata pelajaran mana saja yang akan didanai oleh pemerintah propinsi? Mata-mata pelajaran mana saja yang akan didanai oleh pemerintah kabupaten/kota? Dan mata-mata pelajaran mana saja yang akan didanai oleh orangtua?

9. Pembagian tugas juga bisa dilakukan—misalnya—dengan menetapan pemerintah tingkatan mana yang harus bertanggung jawab atas penyediaan buku teks pelajaran, dan pemerintah tingkatan mana yang harus bertanggung jawab atas penyediaan buku pelengkap, buku buku referensi, buku bacaan dan buku-buku lain yang menjadi koleksi perpustakaan sekolah? Perlu disadari bahwa kebutuhan sekolah bukan hanya tertumpu kepada buku teks pelajaran. Sekolah juga membutuhkan berbagai buku lain untuk mendukung proses belajar-mengajar, yang bisa dipinjam oleh peserta didik secara bergiliran di perpustakaan. Tapi akhir-akhir ini upaya penyediaan buku-buku tersebut agak terabaikan.

10. Berkaitan dengan efektivtas dan efisiensi dalam penyediaan buku teks pelajaran dan buku sekolah lainnya, hal yang tak kalah penting untuk dilakukan ialah menetapkan sebuah strategi jangka menengah dan panjang. Dan strategi ini seyogianya dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan lainnya dalam industri penerbitan buku teks pelajaran dan buku sekolah. Apa target kita (pemerintah dan swasta) dalam penyediaan buku 5 sampai 25 tahun ke depan? Dan bagaimana kita harus mencapainya? Upaya menyediakan buku teks pelajaran dan buku sekolah lainnya kepada lebih dari 100 juta peserta didik adalah sebuah upaya yang sangat besar dan kompleks. Kalau yang hendak kita capai adalah sustainability dalam penyediaan, dan lahirnya sebuah industri penerbitan buku sekolah yang sehat serta mampu menjadi sokoguru pembangunan pendidikan, maka upaya-upaya ini tidak bisa dilakukan hanya lewat kebijaksanaan yang berjangka pendek, parsial dan reaktif.


Peranan Orangtua

1. Sejak dahulu negara tidak pernah bisa mampu untuk melengkapi setiap peserta didik dengan—minimal—satu buku dari setiap mata pelajaran. Orangtua peserta didik masih harus ikut bertanggung-jawab untuk mencukupkan kebutuhan buku. Bahkan boleh dikatakan sebagian besar kebutuhan akan buku teks pelajaran masih merupakan tangung jawab dan beban orangtua.

2. Pada awal tahun ajaran biasanya sekolah menyodorkan sebuah daftar buku teks pelajaran yang harus dimiliki peserta didik atas beban orangtua. Lalu orang tua akan mencari buku-buku tersebut. Buku itu bisa merupakan buku baru atau bekas yang dibeli dari pasar, atau buku-buku bekas yang diperoleh secara cuma-cuma dari kakak kelas peserta didik. Dan pada awalnya orangtua tidak merasa keberatan untuk memikul tanggung jawab tersebut.

3. Tapi dari tahun ke tahun, hal menyediakan buku teks pelajaran itu oleh orangtua dirasakan semakin memberatkan dan memaksa. Setiap tahun judul buku selalu berganti. Atau, kalau pun judulnya sama, edisinya selalu berganti. Buku yang tahun sebelumnya dimiliki oleh kakak kelas peserta didik, pada tahun yang berikutnya sudah tidak bisa digunakan lagi oleh adiknya. Disamping itu, selain harus membeli buku teks yang pokok, orangtua juga masih diwajibkan untuk membeli buku-buku lain—misalnya buku pemerkayaan dan buku latihan—atas mata pelajaran yang sama. Dan manakala buku itu tidak lagi bisa dibeli di toko, tapi harus dibeli di sekolah, praktek-praktek yang meminta orangtua untuk menyediakan buku teks pelajaran tersebut jadi terasa semakin memaksa dan memberatkan. Pembelian buku menjadi satu paket dengan pembelian baju seragam, iuran OSIS, dan hal-hal lain yang pada setiap awal tahun harus dilakukan oleh orangtua kepada sekolah.

4. Keluhan orangtua sebagaimana yang diuraikan dalam Butir 2 akhirnya menjadi isyu politik yang menyebabkan Pemerintah bertindak dan mengeluarkan Peraturan Mendiknas No. 11 Tahun 2005 yang isinya antara lain melarang guru untuk berdagang buku di sekolah dan membatasi guru untuk tidak terlalu sering mengganti-ganti buku teks pelajaran.

5. Mengingat kemampuan keuangan negara, maka untuk jangka waktu yang panjang tampaknya sebagian dari kebutuhan akan buku teks pelajaran masih harus dipikul oleh orang tua. Dan orangtua tampaknya tidak keberatan untuk melaksanakan tangung-jawab itu, sepanjang hal tersebut bersih dari praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh penerbit, guru dan pelaksana pendidikan lainnya, yang demi memperoleh keuntungan finansial tega memaksa orangtua untuk membeli buku dalam harga dan jumlah yang di luar kewajaran.

6. Dalam hal penyediaan buku teks pelajaran, tampaknya perlu juga dilakukan koordinasi antara pemerintah dengan orangtua. Acapkali terjadi kasus bahwa penyediaan sebuah buku teks pelajaran tertentu sudah masuk dalam perencanaan pemerintah. Tapi karena sampai pada awal tahun pelajaran buku tersebut belum tiba di sekolah, maka guru terpaksa meminta orangtua untuk menyediakannya. Dan buku yang disediakan oleh pemerintah dan yang datang menyusul itu tentu saja menjadi mubazir.


Perpustakaan Sekolah

1. Kata “perpustakaan sekolah” sering muncul dalam proyek-proyek pembangunan fisik sekolah atau penyediaan buku oleh pemerintah. Tapi apakah yang dimaksud dengan “perpustakaan sekolah”? Bagaimana standar minimal fisik perpustakaan SD, SMP atau SMA? Bagaimana standar minimal koleksi perpustakaan SD, SMP atau SMA? Bagaimana standar minimal pengelola perpustakaan SD, SMP atau SMA?

2. Dewasa ini “perpustakaan sekolah” bisa berarti apa saja. Bagi sebuah sekolah yang ruangannya terbatas, perpustakaan sekolah bisa berarti setumpuk buku yang disimpan dalam sebuah lemari yang ada di kantor kepala sekolah, dan yang bisa diakes oleh murid secara terbatas. Bagi sebuah sekolah yang memiliki kelebihan ruangan tapi tidak memiliki tenaga pengelola yang khusus, perpustakaan sekolah bisa berarti sebuah ruangan yang berisi sederetan rak berisi buku, tapi yang ditunggui oleh seorang tenaga sukarela. Dalam banyak kasus, perpustakaan sekolah bahkan ditunggui oleh seorang guru yang sedang mendapat hukuman atau skorsing untuk tidak boleh mengajar. Harus diakui bahwa sudah ada SD,SMP atau SMA yang memiliki perpustakaan dalam pengertian yang sebenarnya. Tapi sebagian besar perpustakaan sekolah masih dalam pengertian yang berbeda-beda.

3. Efektivitas ketersediaan buku di sekolah dalam menunjang proses belajar-mengajar tidak bisa dilepaskan dari efektivitas perpustakaan sekolah. Karena itu sudah saatnya dipikirkan standarisasi perpustakaan sekolah. Dan sejalan dengan upaya standarisasi, sudah saatnya juga untuk menentukan sebuah badan yang bertanggung-jawab dalam membina dan mengembangkan perpustakaan sekolah (dari aspek fisik ruangan, koleksi, dan tenaga pengelola). Dahulu di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional sebenarnya pernah ada sebuah badan yang bertanggung jawab atas hal tersebut, yaitu Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tapi kini badan tersebut telah dibubarkan dan dilebur ke dalam Badan Perpustakaan Nasional.

4. Kehadiran sebuah perpustakaan, terlebih lagi kehadiran seorang pustakawan (dalam pengertian yang sebenarnya) di setiap sekolah, tentu akan lebih memudahkan semua fihak dalam melakukan inventarisasi ketersediaan buku dan melakukan perencanaan akan pembelian buku di masa mendatang.


Informasi Buku

1. Efektivitas dari ketersediaan buku dalam menunjang proses belajar-mengajar tentu erat kaitannya dengan ragam dan jenis buku yang tersedia di sebuah sekolah. Ada pun jenis dan ragam buku yang disediakan tentu sangat tergantung dari informasi yang dimiliki sekolah tersebut tentang buku yang tersedia di pasar. Semakin besar informasi tentang ragam dan jenis buku, maka akan semakin baik pula pilihan yang bisa dilakukan oleh sekolah.

2. Walaupun Mendiknas telah mengeluarkan penetapan tentang sejumlah buku teks pelajaran yang layak dan harus digunakan, tapi sekolah—terutama yang berada di daerah terpencil—tak akan bisa mengetahui bagaimana isi buku-buku tersebut; apalagi melihat fisiknya. Bahkan ada kemungkinan sekolah pun tidak pernah mengetahui daftar dari buku-buku yang telah mendapat penetapan tersebut. Karena itu perlu dipikirkan upaya untuk membangun sebuah sistem dan jaringan informasi tentang buku-buku teks pelajaran dan buku-buku lainnya (yang telah mendapat rekomendasi pemerintah) ke sekolah. Dan upaya ini semakin terasa penting saat ini, yaitu manakala wewenang penyediaan buku bukan lagi dilakukan terpusat, tapi sudah berada di tangan sekolah.

3. Informasi yang lengkap tentang buku yang bermutu dan tersedia di pasar akan menghindarkan sekolah dari memilih buku-buku yang tak bermutu, tapi yang terpaksa dilakukannya karena hanya penerbit buku itulah yang mampu mendatanginya.



DISTRIBUSI

Peranan Toko Buku

1. Pernah ada masa ketika penerbit mendistribusikan bukunya ke sekolah melalui jalur grosir dan toko buku. Penerbit hanya mempromosikan bukunya ke sekolah. Selanjutnya, sekolah mempersilakan orang tua peserta didik untuk membeli buku tersebut di toko buku

2. Buku teks pelajaran mengambil porsi yang sangat besar dalam total penjualan buku secara keseluruhan. Banyak toko buku—terutama yang bermodal kecil—tidak akan mungkin bisa bertahan kalau sepenuhnya mengandalkan penjualan buku umum. Karena itu, walau pun masa penjualan buku sekolah hanya terjadi hanya dalam satu-dua bulan setiap tahun, yaitu pada permulaan tahun ajaran, tapi toko bisa memperoleh pendapatan yang cukup besar, yang membuat mereka mampu membiayai operasi selama sisa tahun berjalan dan menyisakan keuntungan. Masa seperti yang diuraikan dalam Butir 1 dan 2 adalah masa ketika toko-toko buku muncul dan berkembang di mana-mana.

3. Tapi ternyata ada sementara penerbit yang merasa kurang puas kalau mengandalkan penjualan buku-buku teks pelajarannya hanya di toko buku. Kapasitas toko buku, untuk bisa menampung semua buku teks pelajaran yang ada, memang sangat terbatas. Apalagi, penyebaran toko buku belum merata. Banyak wilayah yang sama-sekali tidak memiliki toko. Karena itu para penerbit ini mulai melakukan penjualan langsung ke sekolah. Tindakan beberapa penerbit ini tentu saja diikuti oleh rekan-rekannya sesama penerbit buku teks pelajaran lainnya yang tidak tidak ingin kehilangan pasar. Akhirnya semua penerbit beramai-ramai turun ke sekolah. Terjadilah perang dalam memberikan iming-iming bonus dan rabat kepada sekolah/guru yang menjual buku kepada peserta didik. Dan rabat yang diberikan oleh penerbit kepada guru acapkali sama besar—atau bahkan lebih besar daripada yang diberikan kepada toko buku.

4. Fenomena turunnya penerbit ke sekolah mengakibatkan usaha toko buku terpukul. Alih-alih mengalami perkembangan maka usaha toko buku—terutama toko buku independen yang bermodal kecil—jadi menyusut. Suatu ketika Gabungan Toko Buku Indonesia (GATBI) pernah mencatat bahwa jumlah toko buku turun drastis dari 3.000 menjadi hanya 400.Menyusutnya jumlah toko buku di Indonesia adalah sebuah ironi. Pada saat yang bersamaan sebenarnya sedang terjadi peningkatan jumlah penerbit dan jumlah judul yang diproduksi.

5. Bila dilihat dari satu sisi tertentu pola penjualan langsung ke sekolah memang menguntungkan penerbit. Penerbit bisa mengontrol pasarnya secara lebih ketat. Orang tua dari peserta didik—terutama mereka yang berada di daerah-daerah yang jumlah dan kapasitas toko bukunya terbatas—juga merasa diringankan. Mereka tidak perlu bersusah-payah mencari buku. Apalagi, banyak sekolah yang juga mengizinkan orang tua untuk membayar pembelian bukunya secara mencicil. Di daerah pertanian—misalnya—ada penerbit yang bersedia menunggu pembayaran atas penjualan bukunya pada masa panen.

6. Tapi bila dilihat dari sisi yang lain, penjualan buku oleh penerbit secara langsung ke sekolah adalah sebuah upaya yang berbiaya tinggi. Penerbit harus memelihara armada promosi dan penjualan yang sedemikian besar, serta harus mendirikan banyak kantor perwakilan dan gudang di daerah-daerah yang menjadi target pasarnya. Penerbit juga menyadari bahwa guru sebenarnya bukanlah pedagang yang baik. Banyak tagihan yang tertunggak di tangan guru. Dan kenyataan ini jugalah yang disadari oleh sebuah penerbit yang pernah terkenal karena agresivitasnya menjual buku scara langsung ke sekolah. Suatu ketika penerbit ini mencoba mendirikan jaringan grosir dan toko sendiri. Tapi karena yang disalurkan hanyalah buku terbitan sendiri, upaya untuk mendirikan jaringan grosir dan toko tersebut tidak berhasil.

7. Penjualan buku secara langsung ke sekolah—suka atau tidak suka—akhirnya menyeret tenaga pendidik menjadi pedagang buku dengan segala eksesnya. Konsentrasi pada proses pembelajaran menjadi terganggu. Pemilihan buku teks pelajaran acapkali bukan lagi didasarkan atas pertimbangan mutu, tapi lebih atas besarnya bonus atau rabat yang diperoleh guru. Terjadilah praktek-praktek penjualan buku teks pelajaran secara paksa oleh guru kepada peserta didik. Dan kenyataan-kenyataan inilah yang mendorong keluarnya Peraturan Mendiknas No. 11 Tahun 2005. Sebenarnya peraturan ini didasari oleh itikad baik. Pemerintah tidak ingin melihat guru berdagang buku di sekolah sehingga mengganggu kegiatan belajar-mengajar. Peraturan ini juga sebenarnya ingin menghidupkan kembali pola penjualan lewat toko buku. Tapi karena kemampuan dan jumlah toko buku sudah menyusut, maka pola ini memang merepotkan penerbit. Ketentuan yang mewajbkan peserta didik untuk membeli buku di “pasar” sebagaimana yang disyaratkan Peraturan Mendiknas No. 11 Tahun 2005 terpaksa ditafsirkan dan disiasati dalam berbagai acara. Kini banyak penerbit yang menyewa ruangan tidak jauh dari lingkungan sekolah dan menjadikannya sebagai “toko buku” selama satu-dua bulan, yaitu selama masa tahun ajaran baru.

8. Tapi menyusutnya jumlah toko buku sebagaimana yang diuraikan dalam Butir 4, dan persaingan head to head dalam menjual buku di sekolah disadari oleh para penerbit sebagai suatu hal yang tidak efisien. Dan pada saat yang bersamaan penerbit-penerbit ini juga mulai melihat peluang usaha dalam bisnis toko buku. Memang, akibat pertumbuhan judul buku baru secara keseluruhan per tahun yang berbanding terbalik dengan pertumbuhan toko, kini semakin terasa perlunya kehadiran lebih banyak lagi toko buku. Karena itu beberapa penerbit besar mulai menggagas upaya untuk mendirikan toko.

9. Di beberapa daerah peluang usaha untuk mendirikan toko buku ini juga mulai pula ditangkap oleh beberapa perseorangan yang berhimpun dalam Gabungan Pedagang Buku Indonesia (GAPBI). Mereka membuka point of sales yang meliputi buku dari berbagai penerbit di depan sekolah, dan menekan pemerintah daerah agar melarang penerbit yang masih melakukan praktek penjualan langsung.

10. Dalam upaya mengatasi kesulitan dalam distribusi, ada pula penerbit yang mulai mengagas kerjasama dengan P.T. Pos Indonesia. Sebagaimana diketahui P.T. Pos Indonesia adalah salah satu perusahaan yang memiliki jaringan sampai ke tingkat kecamatan atau desa.

11. Upaya-upaya untuk mendirikan toko buku, baik secara terencana sebagaimana yang dilakukan oleh para penerbit besar seperti yang diuraikan dalam Butir 6, 8, 10, atau yang dilakukan oleh beberapa perseorangan seperti yang diuraikan dalam Butir 9, atau yang terpaksa dilakukan oleh penerbit seperti yang diuraikan dalam Butir 7, sebenarnya bisa menjadi daya penggerak yang luarbiasa dalam menumbuhkan lebih banyak lagi toko buku di Indonesia. Untuk itu para penerbit perlu duduk dan mengatur langkah bersama.


Konsorsium

1. Ternyata masalah pendistribusian buku ke sekolah bukan hanya terjadi dalam kasus buku yang dibeli oleh dana orangtua peserta didik, tapi juga terjadi dalam kasus buku-buku yang dibeli oleh dana negara.

2. Dahulu skim-skim penyediaan buku umumya dilakukan secara terpusat. Penerbit cukup menawarkan, mengantarkan bukunya dan menagih uang hasil penjualan buku tersebut di kantor proyek yang berada di Jakarta, ibukota propinsi atau ibukota kabupaten. Selanjutnya proyek-lah yang mendistribusikan buku tersebut ke sekolah. Tapi sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi dan otonomoi daerah, maka kini banyak skim penyediaan buku yang mensyaratkan penerbit untuk menawarkan, mengantarkan dan menagih uang hasil penjualan bukunya di sekolah. Pola ini dikenal dengan istilah block grant. Dua skim pengadaan buku yang besar dan berskala nasional, yaitu BOS-Buku dan DAK-Buku menerapkan pola ini.

3. Karena nilai pesanan yang relatif kecil dan sekolah yang menyebar dimana-mana, maka penerbit—terutama yang tidak memiliki jaringan promosi dan penjualan yang luas— merasa kesulitan dalam melaksanakan pesanan tersebut. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, maka beberapa penerbit berkelompok membentuk konsorsium. Penerbit yang memiliki jaringan yang kuat di suatu daerah akan membantu mempromosikan dan menjual buku-buku terbitan penerbit lain.

4. Muncullah berbagai konsorsium penerbit yang bersaing untuk mempromosikan dan menjual buku teks pelajaran yang dibeli dengan uang negara di sekolah. Dan akibatnya, sama seperti kasus penjualan buku yang dibeli dengan uang orangtua, terjadi lagi perang rabat antara satu konsorsium dengan konsorsium lainnya. Dalam skim BOS-Buku atau DAK sekolah membeli buku untuk dibagikan secara cuma-cuma kepada peserta didik, atau dijadikan koleksi perpustakaan. Sebenarnya dalam kedua skim pembelian buku ini tidak dkienal istilah “rabat”. Tapi karena sekolah/guru sudah terbiasa berdagang, maka mereka juga menuntut rabat atas pembelian yang dilakukannya. Rabat—yang tidak mungkin diterakan dalam faktur penerbit itu—tentu saja menjadi pendapatan sekolah/guru. Dalam kasus BOS-Buku perang rabat ini sangat merugikan penerbit. Apalagi—perlu diingat—bahwa harga dari buku yang boleh dijual ke sekolah sudah ditetapkan oleh Pemerintah, dan sangat rendah, yaitu Rp.20.000,-/buku. Perlu ada kesepakatan dan keseragaman langkah di antara para konsorsium untuk menghadapi sekolah.

5. Sebenarnya hal yang paling baik untuk mengakhiri perang ialah bila konsorsium yang berbeda-beda itu melebur diri dan menjadi konsorsium tunggal.

6. Konsorsium adalah tanggapan yang alamiah dari para penerbit dalam mengatasi kendala dan mencari cara yang paling efisien dan efektif untuk mempromosikan dan mendistribusikan bukunya ke sekolah. Bila dilihat dalam semangat ini, maka konsorsium—apalagi sebuah konsorsium tunggal—yang mewadahi semua penerbit buku teks pelajaran dan buku sekolah lainnya bisa menjadi alternatif bagi kelangkaan distributor dan toko buku. Bahkan di kemudian hari ia bisa dikembangkan menjadi sebuah jaringan toko buku sekolah—milik bersama para penerbit buku sekolah—yang tersebar di berbagai pelosok.

7. Tapi karena sulitnya masalah yang dihadapi dalam upaya mempromosikan, menjual dan mendistribusikan buku dalam skim BOS-Buku, maka ada sebagian penerbit—terutama mereka yang tidak memiliki jaringan pemasaran yang luas—mulai menggagas pemikiran untuk mengusulkan kepada Pemerintah agar titik pengadaan buku kembali ditarik ke ibukota kabupaten.


Gagasan Tentang Buku Murah

1. Beberapa waktu yang lalu pernah ada wacana dari Pemerintah untuk membeli hak cipta naskah buku teks pelajaran dari pengarang, lalu membuatnya menjadi buku, memasukkannya dalam situs internet dan mempersilakan masyarakat mengakses dan menggandakan buku tersebut secara cuma-cuma. Dalam semangat yang sama dengan memasukkan buku dalam situs internet, maka beberapa waktu yang lalu, pernah ada iklan tender di sebuah media massa, yang meminta pengarang agar memasukkan naskah buku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk diterbitkan oleh Pemerintah. Dan bila buku ini diterbitkan tentu saja a akan dibagikan secara cuma-cuma ke sekolah.

2. Beberapa penerbit buku teks sekolah mulai mengkhawatirkan kebijakan ini. Mereka menilai hal ini bisa menggerogoti penjualan dan mematikan industri penerbitan buku sekolah. Dan bila industri penerbitan buku mati, maka akan mati pulalah salah satu pilar yang menopang pembangunan pendidikan. Tapi ada pula beberapa penerbit—yang walau pun dengan berat hati—bisa menerima kebijakan ini. Menyediakan buku murah demi pengembangan pendidikan memang adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah. Tapi perlu diingat, ragam dan jumlah buku yang dibutuhkan oleh pendidikan sangat besar. Tidak mungkin Pemerintah bisa memenuhi semuanya secara sendirian.

3. Apa pun yang dilakukan oleh Pemerintah, penerbit hanya mengharapkan transparansi, ketegasan, konsistensi dan pembagian tugas yang jelas. Beberapa penerbit menilai bahwa dalam banyak hal Pemerintah sering tidak transparan, tegas dan konsisten. Dalam kasus BOS-Buku misalnya: Kalau memang Pemerintah hendak membantu peserta didik di daerah-daerah yang terbelakang dan tidak mampu, mengapa pula peserta didik di daerah-daerah atau sekolah-sekolah yang mampu harus mendapat buku secara cuma-cuma? Dana untuk membeli buku bagi peserta didik di sekolah elit yang ada di Bandung, Surabaya dan kota-kota besar lainnya, bukankah lebih baik ditambahkan kepada peserta didik di sekolah terbelakang yang ada Indonesia Timur? Kasus pelarangan dan penyitaan buku teks pelajaran sejarah oleh Kejaksaan Agung, adalah contoh dari tidak adanya ketegasan dan konsistensi. Pembelian buku teks pelajaran yang sama untuk dibagikan ke sekolah yang sama, oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabubaten/Kota adalah contoh tidak adanya transparansi dan pembagian tugas yang jelas.

4. Beberapa penerbit berharap, bahwa IKAPI sebagai wadah dari para penerbit, Pemerintah, dan para stakeholder lainnya, bisa duduk bersama untuk menyusun kebijakan-kebijakan perbukuan yang mendorong tumbuhnya sebuah industri penerbitan buku yang sehat. Dan hanya industri penerbitan buku yang sehatlah yang bisa menjadi pilar pembangunan pendidikan.


PENUTUP DAN KESIMPULAN

1. Upaya Pemerintah untuk menyediakan buku teks pelajaran secara cuma-cuma kepada peserta didik, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak dahulu Indonesia telah menyelenggarakan berbagai skim penyediaan buku secara cuma-cuma kepada berbagai tingkatan sekolah (SD/MI—SMP/MTs—SMA/MA—dsb), dan dengan memakai berbagai sumber pembiayaan.

2. Tapi mengingat besarnya jumlah peserta didik yang harus dilayani, maka belum pernah ada satu skim pun yang bisa menyediakan buku secara cukup (satu buku untuk satu peserta didik), dari SD sampai SMA, dan yang meliputi sekelompok mata pelajaran pokok (apatah lagi bila meliputi seluruh mata pelajaran).

3. Pemerintah sebenarnya harus menyadari keterbatasannya. Dia tidak bisa bekerja sendiri. Sasaran yang besar itu, yaitu menyediakan buku teks pelajaran secara lengkap dan cukup kepada ratusan juta peserta didik haruslah dicapai secara bertahap dan atas kerjasama dengan berbagai fihak.

4. Skim penyediaan buku untuk mata pelajaran yang sama, kepada tingkatan sekolah yang sama (SD SMP atau SMA) hendaklah dilakukan secara berkesinambungan. Terlalu banyak dana dan waktu yang terbuang percuma bila sebuah skim penyediaan buku terputus di tengah jalan akibat kebijaksanaan yang bergonta-ganti.

5. Kemudian perlu juga dilakukan koordinasi dan pembagian kerja di antara berbagai proyek/skim penyediaan buku yang tersebar di berbagai departemen dan tingkat pemerintahan (Pusat-Propinsi-Kabupaten/Kota) itu. Karena beberapa proyek/skim yang berbeda-beda itu menyediakan buku yang sama kepada sekolah yang sama, maka acapkali terjadi penghamburan dana, waktu dan tenaga.

6. Hal lain yang tak kalah penting untuk disadari oleh Pemerintah—dan fihak manapun yang terlibat dalam masalah buku—ialah, bahwa iklim telah berubah. Kini Indonesia berada dalam era demokratisasi, desentralisasi dan otonomi. Keputusan untuk menentukan buku mana yang perlu dibaca oleh seorang murid—di Pegunungan Jayawijaya atau Kepulauan Sangir Talaud misalnya—bukan lagi ditentukan oleh Pemerintah (Pusat—Propinsi-Kabupaten/Kota) tapi oleh guru yang ada di daerah tersebut. Peranan pemerintah hanyalah mengatur kriteria tentang buku-buku mana saja yang layak atau tidak layak dibaca berdasarkan kebijaksanaan atau standar pendidikan nasional yang telah ditetapkannya, membagi informasi tentang kriteria itu dengan selengkap-lengkapnya dan membiarkan guru/sekolah untuk memilih.

7. Bahkan uang dan tanggung jawab untuk melakukan pembelian dalam sebuah skim penyediaan buku yang dilakukan oleh Pemerintah (Pusat-Propinsi-Kabupaten/Kota) sebaiknya direntang sampai ke tingkat guru/sekolah. Dan hanya dengan cara inilah mekanisme pasar bisa ditumbuhkan di daerah—terutama daerah yang terpencil.

8. Hal lainnya lagi yang perlu dilakukan oleh Pemerintah ialah membangun sebuah perencanaan yang menyeluruh dan berjangka-panjang tentang bagaimana upaya menyediakan buku teks pelajaran/buku sekolah ini dilakukan agar setiap peserta didik—terutama yang secara ekonomi tidak mampu—bisa memperoleh semua buku yang dibutuhkannya dan menjadi penunjang dalam proses belajar yang sedang dilakukannya? Apa target Pemerintah dalam 5 sampai 25 tahun ke depan? Bagaimana mencapai target itu? Bagaimana pembagian kerja dilakukan di antara berbagai tingkat pemerintahan (Pusat-Propinsi-Kabupaten/Kota), dan bagaimana pula pembagian kerja dilakukan dengan kalangan swasta? Bagaimana kebijaksanaan buku cuma-cuma atau buku murah dijalankan, sehingga di satu fihak bisa membantu masyarakat yang ekonominya lemah, tapi di lain fihak tetap menumbuhkan sebuah industri penerbitan buku yang sehat?

9. Industri penerbitan buku teks pelajaran/buku sekolah adalah sebuah industri yang besar dan kompleks. Banyak fihak yang memiliki kepentingan di dalamnya. Oleh karena itu upaya untuk menyusun sebuah strategi besar dalam menyediakan buku teks pelajaran/buku sekolah tidak bisa dilakukan oleh satu fihak saja (Pemerintah). Upaya ini harus disusun secara bersama-sama dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam industri penerbitan buku.

10. Menyusun sebuah strategi besar dalam menyediakan buku teks pelajaran/buku sekolah juga bukanlah sebuah upaya yang bisa dilakukan sekali-jadi. Dan ia juga tidak bisa dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan hanya dengan retorika atau perang pernyataan di media massa. Dia harus dilakukan dengan duduk bersama dan lewat diskusi-diskusi yang mendalam dan panjang.

11. Para penerbit—sebagai salah satu pemangku kepentingan—hendaklah menyadari bahwa mereka memiliki peranan yang sentral dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Dan industri penerbitan buku teks pelajaran/buku sekolah adalah salah satu tiang yang menopang keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu dari para penerbit juga dituntut sumbangan pemikiran tentang bagaimana industri penerbitan buku teks pelajaran/buku sekolah dibangun seraya membangun pendidikan di Indonesia.

12. Sejalan dengan pemikiran yang telah diuraikan di dalam Butir 11, maka para penerbit—terutama para penerbit buku teks pelajaran/buku sekolah—hendaklah senantiasa meyadari, bahwa industri penerbitan buku teks pelajaran/buku sekolah adalah lokomotif dari industri penerbtan buku secara keseluruhan di Indonesia. Kemajuan industri penerbitan buku secara keseluruhan di Indonesia sangat tergantung pada kemajuan industri penerbitan buku teks pelajaran/buku sekolah.

13. Dalam memberikan sumbangan pemikiran tentang bagaimana membangun sebuah industri yang sehat dan kuat, maka para penerbit juga seyogianya harus menyadari bahwa iklim sosial dan politik telah berubah. Kini Indonesia sedang berada dalam era demokratisasi, desentralisasi dan otonomi. Iklim ekonomi pun telah berubah. Kini Indonesia sedang keluar dari sistem ekonomi monopoli dan subsidi. Adalah sebuah hal yang sia-sia kalau berbagai perencanaan dilakukan dalam kerangka berpikir bahwa Indonesia masih berada dalam sistem sosial-politik yang otoriter dan tersentralisasi, serta dalam sistem ekonomi yang diwarnai penuh dengan subsidi, monopoli dan intervensi pasar.

14. Dalam kaitan dengan kesadaran bahwa iklim telah berubah, maka para penerbit juga hendaklah menyadari bahwa skim/proyek penyediaan buku yang dilakukan oleh Pemerintah bukanlah tujuan akhir. Skim/proyek penyediaan buku yang dilakukan oleh Pemerintah hendaklah disiasati sebagai motivator dan pendorong dalam menumbuhkan industri penerbitan buku yang sehat dan kokoh.

15. Dalam diskusi-diskusi yang dilakukan menjelang Publishers’ Forum—dan dalam diskusi-diskusi yang terjadi pada Publishers’ Forum hari ini—telah terungkap banyak pikiran, gagasan/rekomendasi tentang bagaimana membangun industri penerbitan buku teks pelajaran/buku sekolah. Tapi mengingat kompleknya permasalahan dan banyaknya fihak yang berkepentingan, pikiran-pikiran tersebut tentu saja masih harus dijabarkan, diperdalam dan diperjelas agar bisa menjadi sumbangsih yang berarti untuk membangun sebuah industri yang sehat dan kuat, dan yang sekaligus menjadi tiang penopang pembangunan pendidikan di Indonesia.

* Sekretaris IKAPI DKI Jakarta Periode 2003-2007. Artikel ini ditampilkan atas izin penulisnya.

Hillary Clinton adalah srikandi politik yang sedang bersinar di Amerika Serikat. Dia banyak disorot dan juga dituliskan. Kiprah politik perempuan diulas dua buku: A Woman in Charge: The Life of Hillary Rodham Clinton (Carl Bernstein/Knopf, 628 pp.) dan Her Way: The Hopes and Ambitions of Hillary Rodham Clinton (Jeff Gerth and Don Van Natta Jr./Little, Brown, 438 pp.). Dua buku itu direview sekaligus oleh Michael Tomasky di The New York Review of Books>>


Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>


Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>