25 Juni 2007

Penerbit Komunitas Bambu: Kembali ke Kampoeng Batavia

Oleh Fadila Fikriani Armadita

Awal Mei 1998 bulan dan tahun yang sama dengan runtuhnya rezim orde baru . Sekelompok anak muda berstatus mahasiswa Universitas Indonesia (UI) berkumpul, berdiskusi tentang apa saja mulai dari sajak sampai hasil penelitian. Bermula dari itulah kelompok diskusi yang dinamakan Komunitas Bambu ingin dikenal khalayak, yah eksistensi diri dengan melebarkan sayap. Dibangunlah divisi penerbitan Komunitas Bambu yang kelak mempublikasikan hasil diskusi, penelitian, ataupun karya anggota komunitas bambu. Bukan itu saja diskusi juga membuka kesempatan bagi anggota Komunitas Bambu untuk bermain-main di bidang sastra, sejarah, filsafat, dan juga psikologi.

Tak sembarangan hasil penelitian Komunitas Bambu. Salah satunya tentang Biografi Soeharto, mantan penguasa negeri ini, yang ditulis oleh Bagus Takwin. Juga penelitian yang dilakukan oleh Keith Foulcher, terkait dengan rekayasa sejarah sumpah pemuda.

Meluncurlah Komunitas Bambu dalam kancah dunia buku. Sejarah dan sastra menjadi prioritas utama, tema-tema yang belum banyak dilirik penerbit kebanyakan. Pasar menjadi pilihan berikutnya, prioritas utama adalah naskah yang memiliki kesegaran baru dalam dunia buku, tak heran naskah yang terpinggirkan terkadang menjadi pilihan Komunitas Bambu.

Setiap tahu, digelarlah sidang redaksi Komunitas Bambu. Dari sanalah kemudian ditentukan tema apa saja yang akan diangkat. Setelah semua siap, melangkahlah mereka keluar kantor redaksi untuk mencari penulis yang sesuai dengan tema. Mera juga mulai bergerak mencari editor yang baik untuk membuat semacam rampai dengan mengkompilasi tulisan-tulisan yang fundamental sesuai tema yang diinginkan. Dalam menentukan ide mereka tak main-main terkadang mereka berdiskusi dengan orang-orang yang cukup kompeten dengan tema yang mereka angkat.

Sitor Situmorang, salah satu penulis pilihan Komunitas Bambu. Delapan buku Sitor diterbitkan oleh Komunitas Bambu baik sajak maupun cerita pendek Sitor. Komunitas Bambu pun mengusahakan buku-buku Sitor diterbitkan dalam pelbagai bahasa. Tiga bahasa sudah buku Sitor diterbitkan Perancis, Belanda, dan Italia.

Bukan tanpa alasan Komunitas Bambu memilih Sitor Situmorang. Penerbitan sajak-sajak Sitor sejak 1948 – 2006 yang mencapai lebih dari 1000 halaman juga kumpulan lengkap cerpennya menurut Komunitas Bambu bukan saja penting untuk memahami perkembangan sejarah sastra Indonesia, sekaligus juga menjernihkan pandangan kita akan kepengarangannnya. Lebih jauh lagi kumpulan itu juga akan memberikan kita semacam panduan atau mistar pengukur arti dan nilai sesuatu yang disebut “pencapaian sastra” dalam perjalanan sejarah sastra modern Indonesia.

Bukan saja ihwal sastra yang mereka perdebatkan dalam buku. Sejarah tak ketinggalan turut dirambah. Tema alternatif juga sensitif menjadi pilihan Komunitas Bambu untuk menerbitkan buku-buku sejarah. Komunitas Bambu mencoba merambah wilayah yang banyak belum tersentuh dalam peta historiografi Indonesia selain buku-buku sejarah lokal Jakarta yang tak mereka lewati.

Komunitas Bambu pun melebarkan sayapnya lagi. Sayapnya ini khusus berbicara tentang kebudayaan Jakarta, mereka menamakannya Masup Jakarta, asal tentang Jakarta akan menjadi pertimbangan, bukan Jakarta tidak masup dalam kriteria. Untuk naskah seperti inilah Komunitas Bambu harus rela ‘Pasang Badan’ banting tulang mencari lembaga yang bersedia menyediakan dana.

Setelah empat tahun berkibar di dunia pernerbitan, baru tahun lalu Komunitas Bambu mempunyai buku-buku best seller, buku yang berjudul Orang Indonesia di Kamp Nazi: Otobiografi Parlindungan Lubis., tercatat toko buku Gramedia memeasan 150 eksemplar buku sebuah angka yang tak biasa dipesan Gramedia, angka penjualannya pun tak jauh berbeda dari angka pesanan.

Empat warsa pertama dari terbentuknya Komunitas Bambu mengonsentrasikan diri pada sebuah komunitas tak ambil peduli dengan tetek bengek urusan administrasi atawa marketing. Kurunwaktu terakhir pimpinan Kominits Bambu sadar bahwa banyak penerbit independen yang tumbang lantaran tak dimanage secara baik, adminitrasi yang kocar-kacir juga menjadi kendala dari penerbit independen. Tak jarang Komunitas Bambu mendapat tawaran berupa dana dengan jumlah yang cukup menggiurkan, selama itu sesuai dengan jalan yang ditempuh Komunitas bambu, itu bukan hambatan bagi mereka. Asal masih jelas juntrungannya mereka menerima dengan tangan terbuka. Paling utama adalah tim redaksi yang kokoh juga konsekuen dan jeli untuk konsekuen dengan tema sejarah dan sastra.

Tak jarang buku-buku Komunitas Bambu dibedah atau menjadi bahan diskusi atau bahan kajian beberapa kalangan yang terkait dengan dunia intelektual. Itu merupakan salah satu bentuk apresiai masyarakat terhadap buku-buku Komunitas Bambu, meski respon yang didapat cukup masif bukan berarti itu berkorelasi dengan pembelian buku-buku di pasar oleh masyarakat.

Hillary Clinton adalah srikandi politik yang sedang bersinar di Amerika Serikat. Dia banyak disorot dan juga dituliskan. Kiprah politik perempuan diulas dua buku: A Woman in Charge: The Life of Hillary Rodham Clinton (Carl Bernstein/Knopf, 628 pp.) dan Her Way: The Hopes and Ambitions of Hillary Rodham Clinton (Jeff Gerth and Don Van Natta Jr./Little, Brown, 438 pp.). Dua buku itu direview sekaligus oleh Michael Tomasky di The New York Review of Books>>


Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>


Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>