26 April 2007

Sisi Ganjil Sepetak Kota Buku

Oleh Agung Dwi Hartanto (Wong nDeso)

Menyimak peradaban buku di Jogja sama halnya menyimak perkara yang paradoksal. Satu sisi buku-buku kuno yang sering luput dari perhatian orang begitu dihargai, namun di sisi lain pasar buku Jogja tak luput dari pembajakan buku. Sementara perkara lain, Jogja yang konon kota penghasil intelektual tetapi justru di pasar buku itu tampak intelektual itu dikhianati dengan maraknya penjualan makalah.

Peradaban pasar buku Jogja dimulai semenjak tahun 1970. Ketika itu pasar buku Jogja masih berada di tempat yang kini berdiri hotel Melia Purosani Jogja. Pasar itu kemudian pindah lagi ke sebelah utara stasiun Tugu. Dari situ pedagang buku terusir lagi hingga akhirnya pindah lagi ke Shoping Center. Dari situ masih harus pindah lagi di depan gedung Bank Indonesia (Jalan Senopati). Kemudian bergeser ke luar pasar shoping (yang kini menjadi Taman Pintar) dan baru setahun lalu menetap menjadi bagian dari Taman Pintar.

Proyek Taman Pintar yang salah satu bagiannya adalah kios buku digagas pemerintahan kota Yogyakarta, dengan menelan biaya Rp 50,750 miliar. Biayanya diperoleh dari gabungan anggaran Pemda dan sponsor yang turut memprasaranai pengadaan berbagai peralatan seperi komputer, jaringan dan LAN. Pasar buku itu terdiri atas dua lantai. Ada 124 kios, 62 terletak di lantai dasar, sisanya di lantai dua. Dari sejarah peradaban pasar buku Jogja yang terkesan tradisonal sampai yang modernis tersebut dapat diketahui seberapa besar (pasar) Jogja menghargai buku-buku kuno.

“Saya berdagang buku kuno sejak tahun 1970,” kata Suprihatin, memulai pembicaraan sembari mengajak duduk di bangku berwarna coklat di samping kiosnya, Pustaka Perdana. Kios itu terletak di lantai satu, deretan belakang, samping kanan persis tangga ke lantai dua, pasar buku Taman Pintar, Jogja.

Suprihatin umurnya 53 tahun. Ia berperawakan sedang, kulitnya sawo matang, rambutnya sudah memulai memutih. Kulitnya senada dengan pakaian yang dikenakannya, berjaket jeans warna biru, bercelana pendek hitam, saat saya menemuinya pada 17 Juni 2006 lalu.

Para pembeli yang berlalu lalang dan juga sambil melayani pembeli, membuat perbincangan kami agak terganggu. Sembari berbincang, Suprihatin harus menjawab pertanyaan dari pelayan kiosnya yang menyakan harga buku. Berhadapan dengan situasi seperti itu, saya tak enak hati, telah mengganggu aktivitas orang.

Meskipun terganggu aktivitasnya, Suprihatin tampak bersemangat ketika menyinggung siapa saja pelanggan buku-buku kuno di kiosnya. Semangatnya seperti dua mahasiswa di samping kami yang sedang memilih-milih makalah di atas meja.

“Langganan banyak datang dari Jakarta, Aceh, Medan, Bandung, Bali, dan Jepang,” ungkapnya sambil memegang tangan kanannya yang lumpuh akibat penyakit stroke yang dideritanya semenjak 8 tahun silam.

Mereka para langganan jauh-jauh datang untuk mencari buku-buku kuno. Suprihatin mengakui bahwa di antara pelanggannya pejabat-pejabat Jakarta. Menteri Pertahanan, Yuwono Sudarsono, dengan diiringi anak buahnya beberapa hari lalu membeli buku di kiosnya. 3 hari lalu (14 Juni 2006) Menteri Koperasi dan UKM Kabinet Indonesia Bersatu, Surya Dharma Ali, menyempatkan diri membeli dagangannyanya. Ada juga artis, Ahmad Dani, suka memborong buku-buku agama.

“Banyak yang datang kemari, ada juga tokoh PDIP yang ngomongnya sambil tersenyum terus, (mungkin tokoh yang dimaksud Permadi). Tetapi yang paling banyak tokoh dari partai-partai, mereka memborong buku dengan disertai anak buahnya” kata ibu bercucu 3 itu.

Karangan Muhammad Yamin, 1000 Tahun Sang Merah Putih yang paling laris. Juga buku tentang Borobudur. Ada juga orang Bali yang khusus membeli buku-buku Soekarno. Ia datang bersama istrinya yang keturunan Jepang yang juga mempunyai hobi sejenis. Orang Aceh juga sering datang, ia pedagang buku di daerahnya. Khusus untuk buku sejarah klasik, pria dari Medan kabarnya mengoleksinya.

Ibu beranak empat itu lagi-lagi lupa nama pengarang buku dan pembelinya, apalagi judulnya. Ia mencoba mengingat-ingat dengan meminta bantuan seorang perempuan, pelayan kiosnya tetapi tetap saja tak bisa mengingat. Saya juga coba membantu mengingatnya dengan beberapa nama tokoh, dan beberapa judul yang berkaitan, tetapi usaha itu sia-sia. Mungkin penyakit stroke yang diderita mempengaruhi daya ingatnya.

Dari penjelasan ibu itu, saya tahu bila setiap bulan paling tidak ada 5 pembeli dari luar kota Jogja yang menyempatkan diri untuk beburu buku. Lasimnya, mereka berburu buku-buku kuno. Mereka semua adalah langganan yang jarang dikenali namanya. Dari langganan itu, informasi buku-buku kuno menyebar. Hingga akhirnya banyak pembeli lain yang juga melakukan hal serupa.

Koleksi buku-buku kuno itu dia dapatkan dari suaminya, Sutarjo, yang menjadi Kepala Sekolah di SMP 3 Pajangan, Bantul, Jogjakarta. Pagi suaminya di sekolah, siang mencari-cari buku kuno. Kebanyakan buku klasik itu didapatkan dari koleksi pribadi dari orang yang berniat menjual. Profesi pencari buku kuno itu ia dan suaminya geluti semenjak 36 tahun silam.

Ia mengatakan bahwa buku langka yang pernah diperolehnya cukup banyak. Lantas dia beranjak dari bangku dan lantas menunjuk buku-buku kuno yang dijualnya. Sembari menunjuk buku-buku itu.

Saya amati memang di kiosnya banyak terdapat koleksi-koleksi buku kuno. Di rak kanan atas ada Esiklopedi Eropa, yang berjumlah sekitar 6 jilid. Di tumpukan paling bawah beberapa buku kuno lain, Revolusi di Bumi Damai, tulisan I Ketut Tantri, Buku-Buku jang Merobah Dunia, yang dikarang Roberts Downs dan diterjemahkan Asrul Sani, dan masih banyak yang lain.

Tampaknya buku-buku kuno itu terawat dengan baik. Dan diletakkan di jauh dari jangkaun para pembeli yang sekadar iseng tanya harga. Sementara buku-buku kontemporer di letakkan di muka kios yang mudh disentuh oleh pembeli.

Untuk mengetahui seberapa jauh buku-buku yang dijual, saya pancing dengan pertanyaan, “Pernah memperoleh Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno?”

“Wah kalau cuma buku itu belum kategori langka, saya pernah menemukan Babad Tanah Jawi cetakan I Balai Pustaka, seluruhnya 46 Jilid, dan dibeli orang Solo,” tuturnya sambil menunjuk buku bersampul merah.

Untuk menentukan para pelanggannya, pedagang buku yang suka baca buku politik itu menyatakan bahwa orang-orang berduit dan gemar membaca buku yang biasanya membeli buku-buku kuno di Taman Pintar Jogja. Pernah suatu kali Suprihatin menjual bukunya seharga Rp. 1 Juta. Buku itu berupa kamus bahasa Jawa.

“Pembelinya kayaknya bukan orang Jogja, saya tawarkan Rp.1. 250.000,00 dan dia si pembeli menawarnya Rp. 1 Juta, saya langsung menyetujuinya. Bukunya setebal telunjuk” ungkapnya. Kamus seharga Rp. 1 juta didapatkannya dari seorang dosen Bahasa Jawa, rumahnya di Kota Gede Jogja. Selain itu koleksi-koleksinya juga didapatkan dari dosen Bahasa Indonesia, UGM.

Dengan menghargai buku klasik, Suprihatin bisa mennguliahkan keempat anaknya. 1 orang anaknya di INSTIPER, 1 Unwama, 2 lainnya di UGM. Buku klasik punya keistimewaan sendiri baginya. Dengan berjualan buku klasik itu anaknya bisa lulus sarjana. Hobi baca ia wariskan pada anak-anaknya.

Bagi Suprihatin keistimewaan buku klasik, selaian mutu isi juga kelangkaannya di pasaran buku, bukan karena tebalnya. Semenjak tahun 1978 orang-orang mulai mencari buku-buku kuno. Bahkan penjualannya mengalami peningkatan sampai sekarang.

Saya perhatikan cara bertuturnya yang terbata-bata saat si ibu itu berkata, “Dengan jualan buku baru kalau stock habis untuk kulakan lagi dan memberi makan anak-anak, kurang.”

“Hukum Dagang,?” tanya seorang perempuan muda bepakaian perlente tiba-tiba datang ke kios, menghentikan perbincangan kami.

“Hukum Dagang?, ndak ada Mbak,” jawab Suprihatin.

Perempuan muda itu pergi, meninggalkan kami. Menuju ke kios-kios yang sederatan dengan kios Putra Perdana. Saya amati dia, dan perempuan muda yang tampaknya seorang mahasiswa itu tetap dengan pertanyaan yang sama dan para pedagang pun masih dengan pertanyaan dan jawaban yang sama pula.

“Cari apa Mbak? “

“Hukum dagang?”

“Wah ndak ada”

Sampai di pojok lorong kios perempuan itu tak saya lihat lagi.

Dari Suprihatin pula saya tahu bahwa Jogja tak pernah lekang dari para pembaca dan orang yang hobi buku. Peradaban perdagangan buku di Jogja juga tak pernah surut. Meskipun sentuhan kapital merambahnya. Hanya saja pengeluaran bertambah ke pasar buku Jogja ditata lebih rapi.

Perpindahan pasar buku dari tempat lama (kini temat taman pintar berdiri) ke lokasi baru di dekat Taman Budaya berpengaruh pada pendapatan pedagang. Menurut pengakuan Suprihatin semenjak pasar buku Jogja dipindah ke Taman Pintar pedagang dibebani dengan pelbagai biaya. Biaya listrik, kebersihan, dan keamanan masing-masing pedagang membayar Rp. 50.000,00 per bulannya. Sementara untuk membeli kios di deretan belakang, lantai satu, harus keluar duit Rp. 35 juta dengan pembayaran yang dapat dicicil. Meskpiun pedagang bisa mendapat sekitar Rp. 150 ribu per hari.

Jogja sejak era 70-an ramai dari pencari buku-buku klasik, bahkan kini pasaran buku klasik itu, menurut penuturan Suprihatin, lebih ramai dibanding dulu. Demikian juga dengan makin bertambahnya toko-toko buku di Jogja kurang begitu berpengaruh. Pangsa pasar yang berbeda menjadikan pasar buku di Jogja tak pernah sepi dari pembeli. Hal itu disebabkan karena baik toko maupun pasar buku mempunyai karakter dan spesialisai bukunya sendiri-sendiri.

Bagi Suprihatin keistimewaan buku klasik, selaian mutu isi juga kelangkaannya di pasaran buku, bukan karena tebalnya. Semenjak tahun 1978 orang-orang mulai mencari buku-buku kuno. Bahkan penjualannya mengalami peningkatan sampai sekarang.

Ibu Suprihatin yang tinggal di Srandakan, Bantul itu lantas bercerita rumahnya yang retak-retak akibat gempa 27 Mei 2006 lalu. Gempa bumi dan peradaban buku berpengaruh pada penjualan buku. Siang harinya pedagang-pedagang menengok kiosnya. Gempa di Bantul 3 minggu lalu sempat menghentikannya berjualan. Baru pada hari kelima pascagempa aktivitas perdagangan buku di Taman Pintar mulai bergeliat lagi. Namun hari pertama buka, kios-kios sepi, orang-orang masih takut dengan gempa.

Siang itu saya kalangkabut mencari anak saya setelah adanya isu tsunami, tapi alhamdullilah semua keluarga selamat,” ungkapnya terharu.

Percakapan tentang tsunami dan gempa itu mengakhiri percakapan kami. Suprihatin beranjak menemui pebelinya. Saya pun akirnya memilih mendekati segerombolan mahasiswa yang siang itu tampak sibuk memilah-milah makalah dengan pelbagai judul dan logo. Di antara yang saya temui pada makalah itu terdapat pelbagai logo-logo kampus-kampus kenamaan di Jogja, UGM, UAD, UII, UMY, UNY, UIN, dan kampus-kapus lain. Hampir semua makalah itu datang dari kampus di Jogja. Di situ saya berjubel dengan sekitar 10-an mahasiwa. Mereka datang silih berganti.

Pada mahasiswi berjilbab coklat yang berada di antara gerombolan ‘intelek’ itu saya tanya, “Kuliah di mana?”

“Di Unwama,” jawabnya malu-malu

Saya beranjak meninggalkan kios Pustaka Perdana. Saya temui seorang ibu yang seumuran dengan ibu Suprihatin, kiosnya di sebelah utara Putra Perdana. Namun ketika ibu tadi saya minta untuk berbincang, saya justru ditolak. Saya perhatikan, ibu tadi memperhatikan apa yang kami perbincangkan setelah saya menyinggung tentang buku bajakan.

Wah, ampun kalih kulo mas, kalih ketuane mawon, mangkeh nek enten nopo-nopo kulo mboten wantun. (jangan dengan saya, sama ketua koperasinya saja, nanti kalau ada apa-apa saya ngga berani),“ katanya agak ketakutan.

Lantas ibu tadi menunjuk kios Empat Putra dan memberi petunjuk tempat Ketua Koperasi Pedagang Buku di Taman Pintar berada. Saya menuju kios itu. Letaknya di lantai satu, ujung kiri depan pasar buku Taman Pintar.

Buku Bajakan

Orang yang dimaksud ternyata masih muda, umurnya sekitar 25 tahun. Brewokan, dengan kaca mata minus. Namanya Ashar, kuliah di Pertanian UGM. Pemuda tambun itu mengaku berdagang buku mengikuti jejak usaha bapaknya. 6 tahun menggeluti perdagangan buku. Di kiosnya bertumpuk-tumpuk buku dengan spesialisasi buku agama dan sosial.

Pemuda yang memilih berdagang buku dibanding kerja di kantoran itu terpilih menjadi Ketua Harian KOPAKU (Koperasi Pedagang Buku) Taman Pintar Jogja. Bentuk usaha KOPAKU adalah melayani simpan pinjam kepada anggotanya. Modal koperasi dipinjamkan kepada para pedagang yang ingin mengembangkan usahanya dengan bunga 3%. Sekarang tak hanya bergerak dalam bidang usaha saja, tapi juga berfungsi sebagai advokasi, dan menjadi paguyuban dengan memasukan nilai-nilai sosial.

Mengenai KOPAKU yang menjadi paguyuban itu, pemuda itu jujur. Saya yang sebelum hari itu (16 Juni 2006) datang sore jam 17.30 WIB. menejumpai ibu-ibu pedagang di Taman Pintar, tergesa-gesa menutup kiosnya untuk mendatangi hajatan dari salah satu anggota KOPAKU. Jadilah pasar buku itu diisi para pedagang laki-laki.

Informasi yang saya dapat dari Ashar mengenai pembajakan buku di Taman Pintar Jogja. Ashar mengakui bahwa memang terjadi pembajakan buku namun volumenya kecil sekali. Buku yang dibajak Cuma 1% dari total keseluruhan judul buku yang dijual di taman Pintar. Angka 1% itu tak banyak berpengaruh terhadap perdagangan buku. Konon, kata Ashar, tidak semua pedagang mau menjual buku bajakan.

“Apa buku yang kerap dibajak?”

“Paling buku kuliahan”

Kata Ashar, alasan buku-buku kuliahan dibajak karena buku tersebut dipakai terus. Untuk membajak buku-buku umum, pembajak berpikir dua kali dengan asumsi belum tentu habis terjual. Buku kuliahan yang terbit tiap semester memungkinkan untuk dibajak. Penerbit sendiri tak pernah mensweepingnya.

“Karena volumenya kecil, tak berpengaruh pada hasil penjualan dari penerbit, dibajakpun mereka masih untung,” begitu ujarnya saat saya menemui di kiosnya yang berukuran 4 x 5 m.

Dari informasi yang saya terima dari sumber yang tak mau disebutkan namanya, buku bajakan itu didapatkan dari seseorang yang memang khusus membajak buku. Pembajakan itu sudah lama dilakukan. Namun hanya segelintir pedagang yang mau menjualnya.

Ashar dengan mimik serius menyatakan, betapa susah untuk menyelidiki dalang perdagangan buku bajakan. Agen distributor buku yang masuk ke pasar buku Taman Pintar terlampau banyak sehingga menyulitkan penyelidikan itu. Bisa jadi satu judul buku disalurkan oleh beberapa agen distributor. Transaksi antara pedagang dan distributor itu tak hanya dilakukan di Pasar Buku. Proses transaksi demikian susah untuk mengidentifikasi asal buku bajakan tersebut.

Namun sumber di Taman Pintar menyatakan bahwa buku bajakan ciri khasnya terletak pada banding (penjilidan). Buku bajakan biasanya jilidannya tak dijahit, dan pengelemannya kurang rapih. Ciri itu dapat dilihat dari lipatan sampulnya.

Kabar bahwa pedagang buku di Taman Jogja melek buku ternyata sepenuhnya benar. Rata-rata dari pedagang memang melek buku di banding dengan pedagang buku di Kuitang Jakarta yang sering memberi harga buku berdasarkan tebalnya. Saya kroscek informasi itu pada Ashar. Bahwa rata-rata pedagang di Taman Pintar memang agak berbeda dengan pedagang buku di tempat lain. Kepintaran itu selain memang berangkat dari suka pada buku juga karena faktor kebiasaan. “Orang menjadi pintar karena terbiasa,” katanya.

Di kiosnya yang spesialis menjual buku agama dan sosial, Ashar mengakui bahwa dirinya suka membaca. Hobi membaca itu ditentukan oleh iklim keluarganya yang suka baca buku. Kebetulan bapaknya pedagang buku. Menurut pemuda yang tinggal menyelesaikan skripsinya itu, menjadi pedagang buku lebih bebas kerjanya daripada kerja di kantor yang bukan miliknya.

“Sampeyan pernah baca Madilog?,” pertanyaan balik itu yang dilontarkannya saat saya tanya buku terfavorit yang penah dibacanya.

“Ya”

Saya selidik lagi, “Bagaimana dengan Bumi Manusia?”

“Itu juga”

“Tan Malaka, orang yang pintar,” katanya memuji dengan sorot mata yakin.

Apa yang dikatakan Tan Malaka menginspirasinya dalam hidup. Bahwa persoalan dalam hidup dapat teratasi jika manusia berpikir. Dengan Madilog pula ia dapat mengerti ajaran tasawuf Syekh Siti Jenar.

Kecintaannya pada buku dipengaruhi tradisi berdagang buku pemuda itu tak terlepas dari sejarah keluarganya. Awal tahun 70-an bapaknya datang ke Jogja. Dengan satu pemikiran mengubah kultur daerah asalnya, Jatirenggo, Lamongan. Bapaknya ingin mengubah kultur agraris menjadi kultur akademis. Rata-rata di daerah masyarakatnya petani tambak.

Harapan bapaknya ingin melakukan lompatan perubahan yang dengan bekal pengetahuan. Kultur yang dibangun di kelurganya mengajarkan untuk sekolah mandiri. Dengan pengetahuan yang didapat harus bisa menghasilkan uang sendiri. Hidup berdikari itulah yang diamanatkan dari keluarganya. Maka buku yang jadi sumber perdaban menjadi kuncinya.

“Membaca buku, itu yang diajarkan bapak saya,” ungkapnya mengakhiri pembicaraan kami.

Hillary Clinton adalah srikandi politik yang sedang bersinar di Amerika Serikat. Dia banyak disorot dan juga dituliskan. Kiprah politik perempuan diulas dua buku: A Woman in Charge: The Life of Hillary Rodham Clinton (Carl Bernstein/Knopf, 628 pp.) dan Her Way: The Hopes and Ambitions of Hillary Rodham Clinton (Jeff Gerth and Don Van Natta Jr./Little, Brown, 438 pp.). Dua buku itu direview sekaligus oleh Michael Tomasky di The New York Review of Books>>


Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>


Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>