25 April 2007

Meraih Perak di Olimpiade Fisika di Semarang

Oleh Fadila Fikriani Armadita

Ini kisah pertemuan saya dengan Ataka. Saat itu minggu sore, 19 November 2006 saya bertemu dengan Ataka sebagai salah satu rangkaian penulisan terhadap proses kreatif Ataka. Saya tiba di rumah Ataka di kawasan Kuncen Yogyakarta pukul 15.15 WIB.

Ataka dengan ramah menyambut dan mempersilakan saya untuk duduk. Sore itu Aka, demikian Ataka akrab dipanggil, tampil sederhana dengan mengenakan celana pendek dipadu dengan kaos hitam bergambar buku keduanya, Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Potter, yang tampak kedodoran di tubuh mungilnya.

Kami mulai berbincang-bincang setelah lama tak berjumpa. Adik perempuannya muncul disusul adik laki-lakinya. Athiya, demikian nama adik perempuannya menawarkan minuman, setelah itu ia masuk ke dalam. Ataka menggeser posisi duduknya supaya kami lebih leluasa berbincang dan tidak terkesan terlalu formal.

Perbincangan mengalir begitu saja, dia menjawab pertanyaan saya dengan lugas. Sesekali adiknya ikut nimbrung, meminta dibukakan permen Yupi.

Di tengah perbincangan kami, Bintang masuk membawa sebungkus permen Yupi lagi. Entah sudah permen Yupi ke berapa yang dilahap sang adik. Aka memakan permen milik sang adik. Mengetahui permennya dimakan kakaknya, Bintang mulai menangis. Aka mencoba menasihati, “Kamu sudah banyak, nanti sakit perut.” Bintang tak menghiraukan kakaknya ia masih saja menangis. Ibunya ikut urun suara mengingatkan Bintang, tapi tak di gubris juga.

Aka tak kehabisan akal, diambilkannya permen Yupi yang masih baru, adiknya menolak sambil terus menangis. Aka sempat berpamitan sejenak, “Sebentar ya, Mbak!”

Sekeluarnya dari rumah, di tangan Aka terkepit sebiji permen. Di depan adiknya permen Yupi yang masih utuh itu dimasukannya ke dalam mulutnya dan kemudian diberikan kepada sang Adik Sang adik kontan diam, dengan permen pemberian Aka.

Dari sikapnya terhadap adiknya, Aka bukan hanya sosok remaja yang memiliki kecerdasan serta imajinasi tinggi, tapi juga sosok bersikap dewasa, mampu mengatasi soal ‘sepele’, seperti cara menenangkan dan menghibur sang adik di kala sedih.

Dalam perbincangan Ahad sore itu Ataka secara dewasa menanggapi celotehan adik-adiknya. Sesekali ia bercerita tentang Athiya adiknya yang memiliki segudang kejuaraan menyanyi. Ia pun bercerita tentang aktivitas sehari-harinya. Bulan September 2006 lalu, Ataka baru saja meraih perak pada Olimpiade Fisika di Semarang. Ternyata, Ataka tak hanya piawai dalam menulis, tapi juga piawai dalam mengutak-atik rumus fisika.



Hillary Clinton adalah srikandi politik yang sedang bersinar di Amerika Serikat. Dia banyak disorot dan juga dituliskan. Kiprah politik perempuan diulas dua buku: A Woman in Charge: The Life of Hillary Rodham Clinton (Carl Bernstein/Knopf, 628 pp.) dan Her Way: The Hopes and Ambitions of Hillary Rodham Clinton (Jeff Gerth and Don Van Natta Jr./Little, Brown, 438 pp.). Dua buku itu direview sekaligus oleh Michael Tomasky di The New York Review of Books>>


Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>


Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>