Oleh Fadila Fikriani ArmaditaMulanya ingin dimasukkan ke majalah sekolah. Lantaran terlampau panjang bocah ini memutuskan untuk menyimpan dan menyempurnakannya. Novel Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Potter (Liliput: Juli 2005; x+115 halaman) ini adalah novel kedua yang lahir dari tangan bocah mungil bernama Ataka. Berbeda dengan novel pertama yang membuat orang sedikit bepikir, dalam novel keduanya ini Ataka menyajikannya lebih dekat dengan masyarakat.
Meski berbeda, genre novel ini adalah fantasi. Hanya saja latar lokal tempat penulis berada begitu terasa dalam novel ini. Semisal lingkungan sekolah, kawan-kawan dekatnya, juga beberapa tempat atau daerah yang ada di kota Yogyakarta.
Novel ini bercerita tentang sekelompok murid SMP yang tergabung dalam kelompok detektif A3R. Bak detektif profesional ketiganya memecahkan beberapa kasus yang ada di sekitar mereka. Kasus yang ditampilkan dalam cerita bisa dibilang cukup unik, dan bisa jadi tak terduga.
Misalnya saja ketika mereka (A3R) memecahkan kasus yang dialami oleh kawan sekolah mereka yang merasa dibuntuti orang tak dikenal. Kasus lain ketika mereka mencoba memecahkan teka-teki siapa ketua mereka sebenarnya, karena selama ‘bertugas’ tak satu pun di antara mereka yang mengetahui pasti seperti apa wajah sang ketua. Mereka berkomunikasi dengan ketua melalui sms, dan nomor yang digunakan sang ketua selalu berganti, tak pernah tetap.
Kasus-kasus kecil namun cukup menggelitik juga terdapat dalam novel ini. Misalnya saja kasus bolpen atau HP hilang dan ternyata hanya disembunyikan di dalam lipatan celana.
Petualang mereka semakin mengasyikan ketika mereka berhasil memecahkan kasus yang mereka anggap cukup berat, yakni kasus pembunuhan. Bukan saja jalan cerita, ataupun pilihan tokoh. Kekuatan yang ada pada novel Ataka yang kedua ini terletak pada ide serta imajinasi yang dimunculkan olehnya.
Bayangkan saja Ataka mampu membayangkan sebuah kasus serta penyelesaiannya secara detail dan masuk akal. Membaca karyanya kita akan teringat pada serial Detektif Conan yang sangat digemari oleh kebanyakan anak-anak, termasuk Ataka barangkali. Ide-idenya dalam cerita ini bisa dibilang sedikit ‘nakal’ dan tak terlintas pada benak orang dewasa.
Dalam penyelesaian kasus-kasus yang dihadapi agen detektif ‘besutan’ Ataka ini bisa dibilang cukup unik dan menggelitik. Ketika mencari identitas sang ketua misalnya, mereka meneliti satu persatu karangan kawan-kawan sekolahnya untuk mendapatkan gaya bahasa yang sama dengan gaya bahasa sang ketua dalam sms yang kerap mereka terima. Mereka juga membikin jebakan dengan cara menelpon sang ketua. Nah, dengan mengenali suara sang ketua mereka akan bisa mendapat kesimpulan yang pasti bahwa sesungguhnya sang ketua adalah agen A3R yang juga siswa SMP 5 sama seperti mereka.
Ataka bertutur dengan lancar dan sederhana. Tak jauh beda dengan caranya bertutur dengan kawan-kawan sekolahnya. Khas anak-anak seusianya.
Dalam novelnya ini juga disertakan ilustrasi atau gambar kartun sebagai representasi dari cerita.
Meski secara khusus buku ini diperuntukkan untuk anak, tak menutup kemungkinan orang dewasa turut membacanya sebab karya Ataka tak hanya mampu membuat decak kagum anak-anak. Orang dewasa pun selayaknya angkat topi untuk karya fenomenal ini.
Di sinilah letak perbedaan sastra anak yang ditulis orang dewasa dengan sastra anak yang ditulis sendiri oleh anak-anak. Tulisan mereka kerap lebih lugas sesuai dengan kehidupannya masing-masing.
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
18 April 2007
Ayo, Mari Bermain Detektif
Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>
Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>
KELUARGAIBUKU:: Aan Mansyur :: Adi Toha :: Argus Firmansah :: Arief Gunawan Soelistiyono :: Bambang Haryanto :: Berliani M Nugrahani :: Dumaria Pohan :: Endah Sulwesi :: Ferina Permatasari :: Hasan Aspahani :: H Tanzil :: Indahjuli Sibarani :: Indrian Koto :: Iswara N Raditya :: Jody Setiawan :: M Baihaqi :: M Sulhanuddin :: Nur Mursidi :: Peranita Sagala :: Sherlock Holmes ::
SITUSBUKU-INDONESIA:: Bataviase Books :: Buku Kita :: Forum Lingkar Pena :: Gagas Media :: Galang Press :: Gramedia :: Indonesia Membaca :: Kutu Buku :: Mizan :: Penulis Lepas :: Raya Kultura :: Ruang Baca KoranTempo :: Rumah Baca Buku Sunda :: Rumah Dunia :: Serambi :: Tanda Baca :: Yayasan Obor Indonesia ::
SITUSBUKU-DUNIA:: BBC Books (London) :: Book Critics (New York) :: Boston Globe Books :: Guardian Books :: Kirkus Reviews :: London Review of Books :: New York Review of Books (New York) :: Paris Review (Paris) :: Pittsburgh Gazette Review (Pennsylvania) :: Publishers Weekly :: Room to Read (California) :: Washington Post Books :: Writers Voice ::