Oleh Muhidin M Dahlan Dan bocah penyihir 14 tahun 7 bulan itu pun datang. Ia tak tiba dengan segepok mainan atau cerita-cerita yang datang dari kotak televisi yang setiap hari menyerang dunia anak-anak nyaris tanpa jeda. Ia juga tak datang dari daratan Eropa dengan tingkat pengetahuan dan kelengkapan sarana pendidikan yang canggih.
Memang, melihat sosok buku terbarunya yang setebal bantal balita dengan rancang isi dan sampul yang digarap penuh intens, kalian mengira bahwa itu terjemahan tergres dari buku-buku fantasi asing seperti yang selama ini dilakukan penerbit-penerbit Jakarta.
Ternyata si bocah penyihir itu datang dari sebuah dusun dan keluarga pada umumnya. Di sana, di sebuah dusun Banyuwangi sebelum pindah dan berdiam di Jogja di sebuah RT tak jauh dari Istana Raja Mataram.
Dialah Ataka. Bocah yang berbadan ringkih ini—jika ke sekolah menggendong tas punggung besar berisi buku-buku tebal yang menggantung kedodoran—menyihir dengan kemampuannya menulis buku yang dari sudut tebalnya saja membuat tangan pembaca dewasa bergetar hebat.
Kalian mungkin berpikiran bengkok mengatakan ada campur tangan kedua orangtuanya. Tapi bacalah pengakuan ibunya yang menyentuh (lihat pengakuan itu di link situs ini: “Hanya Dongeng yang Bisa Kuberi Pada Aka”), niscaya kalian akan tahu bahwa di rahim Indonesia yang terus-terusan ringsek digempur cilaka ini, kini lahir dan tumbuh generasi yang tak sekadar tahu nongkrong di depan kotak kaca, tapi juga generasi yang mengisahkan imajinasinya dalam halaman-halaman buku.
Ataka adalah bocah ajaib yang lahir dari dongeng yang diasupnya terus-menerus dari lingkungannya, terutama dari alam ibu. Ibu yang sadar betapa dongeng adalah sihir menakjubkan buat imaji anak-anak sebetulnya ibu yang tahu bahwa tanahnya bahwa airnya bahwa ibu kandung negerinya adalah ibu yang disapih dongeng yang terbentuk serupa jaring di seluruh Nusantara.
Dari dongeng lalu anak-anak itu mengembarai dunia yang paling musykil sekalipun. Maka mula-mula ia akan belajar membaca; dari gambar-gambar lalu huruf-huruf lalu kalimat-kalimat lalu buku lalu mereka berhadapan dengan pengarang-pengarang lalu mereka pun menjadi pencipta sebagaimana kata dicelup dongeng dilukisahkan.
Adalah Ataka yang kemudian kita temukan menjadi penggemar berat buku-buku Pramodeya Ananta Toer yang buku-bukunya setebal-tebal bantal balita. Juga Tolkien yang triloginya menyimpan enigma luar biasa.
Ataka adalah bocah yang masih mau main game seharian. Namun ia menjadi lain tatkala menulis serius di atas kertas lalu laptop dengan kamar tertutup rapat dan lupa makan lupa minum. Kami tak yakin punyakah hubungan antara ketebalan bacaan dengan buku yang dihasilkan. Namun dari nama-nama pengarang favoritnya, Pram dan Tolkien, Ataka menyimpan memori untuk melampaui tokoh-tokoh pengarang favorinya itu. Paling tidak ia sedang merintis jejak ke sana.
Lihatlah, kedua pengarang favoritnya adalah juga pengarang gaya bersambung khas pengarang-pengarang klasik. Pram punya Tetralogi Bumi Manusia, sementara Tolkien punya Trilogi Lord of The Rings. Dan Ataka, punya Trilogi Skinheald (dua sudah diselesaikan).
Tak sepantar memang membuat perbandingan gaya begini, jika tak boleh dibilang sungguh sesat-menyesatkan. Apalagi membanding-bandingkan dari sudut ketebalan buku. Karya memang tak bisa diukur tebal atau tidaknya. Namun yang ditekankan di sini, betapa energi yang dimiliki Ataka dalam menulis sungguh tak sepadan dengan tonggak tubuh yang menyanggah daya imajinasinya yang meluap-luap seperti air bah.
Ataka, seperti halnya Pram dan Tolkien, adalah penulis dengan ketahanan napas bercerita yang mumpuni. Dan ketahanan yang demikian itu diperolehnya seperti yang lain-lainnya dalam menulis. Resep yang disebutkannya standar dan nyaris semua orang tahu itu.
Kisah Ataka bisa menulis dengan stamina tangguh ini bukan karya fiksi yang dilebih-lebihkan. Ia seperti penulis lainnya yang harus memulai dari huruf pertama sampai huruf terakhir. Ia adalah penyihir yang tersihir betapa dongeng lalu susastra mampu membangkitkan energinya dalam berkisah.
Maka Ataka adalah generasi “Kecil-kecil Berkarya”. Ini tentu menjadi fenomena baru dalam peta perbukuan anak di Indonesia. Selama ini buku anak-anak nyaris 100 persen dituliskan orang dewasa. Sepintar-pintarnya penulis dewasa mengeksplorasi cerita yang diperuntukkan buat anak-anak, tetap saja ada patok pengganjal. Karena penulis dewasa hanya berangkat dari pengalaman kesilaman menjadi anak-anak dan sudah tersentuh pengalaman dewasa.
Dan generasi Ataka—dan juga Sri Izzati, Faiz Abdurrahman, dan beberapa lagi bocah penulis lainnya—adalah generasi yang mengembalikan kodrat transformasi berkisah: dari anak untuk anak. Sebab semengerti-mengertinya orang dewasa tentang dunia-dalam anak, toh yang paling tahu semesta dunianya adalah anak-anak itu sendiri.
Bocah-bocah penulis inilah sihir baru Indonesia. Terus-teruslah kalian remukkan ini muka Indonesia dengan gaya hidup cilaka kalian, tapi kalian tak akan mampu menghentikan imajinasi anak-anak ini. Kalian boleh melantakkan rumah-rumah Indonesia, tapi kalian tak akan pernah bisa menahan kelahiran generasi baru yang lebih baik. Sebab negeri yang terus dirundung nasib geruh ini punya cara sendiri dalam melakukan pembersihan diri di setiap ritus pergantian generasi pengasuhnya.
TENTANG ATAKA
Nama Lengkap
ATAKA AWWALURRIZQI
Nama Panggilan
AKA/ATAKA
Tempat/Tanggal Lahir
BANYUWANGI 24 JULI 1992
Alamat
JL. TURONGGO NO. 27 PAKUNCEN, WIROBRAJAN, YOGYAKARTA, TELP 0274-618448
Orang Tua
H. A. TAUFIQQURRAHMAN S.AG (AYAH); NUR HILAWAH, S.PD (IBU)
Saudara-saudara
ANAK KE-1 DARI 3 BERSAUDARA;
ATYA SARAH FAUDINA/8 TAHUN (ADIK);
NAWA BINTANG JAGAD RAYA/3 TAHUN (ADIK)
Sekolah
KELAS 3 SMP NEGERI 5 KOTA JOGJAKARTA
Hobi
MEMBACA, MENULIS, DAN BERSELANCAR DI INTERNET
Karya Fiksi
1. MISTERI PEDANG SKINHEALD I (PENERBIT ALENIA, 2005)
2. MISTERI PEMBUNUHAN PENGGEMAR HARRY POTTER (PENERBIT LILIPUT, 2005)
3. MISTERI PEDANG SKINHEALD II (COPERNICAN, 2007)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
25 April 2007
Dari Jogja si Bocah Penyihir 14 Tahun itu Datang
Tembok Berlin bukan hanya tembok yang dengan adonan semen, tapi juga perbedaan ideologi yang sarat politik kewarganegaraan. Buku The Berlin Wall: 13 August 1961-9 November 1989 yang ditulis Frederick Taylor (Bloomsbury, 486 pp, £20.00) mengulangi kembali drama itu dalam perspektif lain. Baca selengkapnya review buku tersebut yang dikerjakan Neal Ascherson di London Review of Books>>
Keberatan utama dalam menilai buku Andrea Hirata (Laskar pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor) adalah cara menyusun dan membingkai refleksi pengalaman hidupnya dalam bentuk struktur yang utuh dan solid. Akibat antusiasmenya, semua mengalir deras dan abai terhadap penataannya. Kemampuan Andrea untuk memisahkan antara dirinya dan obyek ceritanya tidak terjadi. Pengalaman masa lalunya diceritakan dalam terang kecerdasan masa kininya seolah-olah sudah terjadi pada masa ceritanya itu. Kemurnian, keluguan, dan suasana pikiran sezaman agak kacau dengan pengetahuan, kecerdasan, dan cara berpikir masa sekarangnya. Inilah yang membuat nilai dokumenternya menjadi kehilangan kepercayaan pembaca. Lebih lengkap kritik Jacob Soemardjo di Pustakaloka Kompas>>
KELUARGAIBUKU:: Aan Mansyur :: Adi Toha :: Argus Firmansah :: Arief Gunawan Soelistiyono :: Bambang Haryanto :: Berliani M Nugrahani :: Dumaria Pohan :: Endah Sulwesi :: Ferina Permatasari :: Hasan Aspahani :: H Tanzil :: Indahjuli Sibarani :: Indrian Koto :: Iswara N Raditya :: Jody Setiawan :: M Baihaqi :: M Sulhanuddin :: Nur Mursidi :: Peranita Sagala :: Sherlock Holmes ::
SITUSBUKU-INDONESIA:: Bataviase Books :: Buku Kita :: Forum Lingkar Pena :: Gagas Media :: Galang Press :: Gramedia :: Indonesia Membaca :: Kutu Buku :: Mizan :: Penulis Lepas :: Raya Kultura :: Ruang Baca KoranTempo :: Rumah Baca Buku Sunda :: Rumah Dunia :: Serambi :: Tanda Baca :: Yayasan Obor Indonesia ::
SITUSBUKU-DUNIA:: BBC Books (London) :: Book Critics (New York) :: Boston Globe Books :: Guardian Books :: Kirkus Reviews :: London Review of Books :: New York Review of Books (New York) :: Paris Review (Paris) :: Pittsburgh Gazette Review (Pennsylvania) :: Publishers Weekly :: Room to Read (California) :: Washington Post Books :: Writers Voice ::